Imam Asy-Syafi’i

Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Shafiʿī atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i yang akrab dipanggil Imam Syafi’i (Gaza, Palestina, 150 H / 767 – Fusthat, Mesir 204H / 819M) adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi’i. Imam Syafi’i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek Muhammad.
Saat usia 20 tahun, Imam Syafi’i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana.
Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi’i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.

Kelahiran
Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi’i lahir di Gaza, Palestina, namun di antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah.

Nasab
Imam Syafi’i merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdul-Manaf.

Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .

Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah bersabda:
“Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau.

Masa belajar
Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.

Belajar di Makkah
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.
Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.

Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.

Belajar di Madinah
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.

Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.

Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”

Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.

Di Yaman
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.

Di Baghdad, Irak
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid.

Di Mesir
Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.

KARYA TULIS
Ar-Risalah
Salah satu karangannya adalah “Ar risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adaalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”

Mazhab Syafi’i
Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah (pembela sunnah),”

Al-Hujjah
Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.

Al-Umm
Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”

http://id.wikipedia.org/wiki/Imam_Asy-Syafi%27i

IMAM SYAFI’I

Tokoh Muslim IMAM SYAFI’I
Riwayat Hidup Imam Syafi’i

PENGENALANNama dan Keturunan Imam Al-Shafi’iNama beliau ialah Muhammad bin Idris bin Al-‘Abbas bin ‘Uthman bin Shafi’ binAl-Saib bin ‘Ubaid bin Yazid bin Hashim bin ‘Abd al-Muttalib bin ’Abd Manaf binMa’n bin Kilab bin Murrah bin Lu’i bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin Al-Nadr binKinanah bin Khuzaimah bin Mudrakah bin Ilias bin Al-Nadr bin Nizar bin Ma’d bin‘Adnan bin Ud bin Udad.Keturunan beliau bertemu dengan titisan keturunan Rasulullah s.a.w pada ‘AbdManaf.
Ibunya berasal dari Kabilah Al-Azd, satu kabilah Yaman yang masyhur.Penghijrahan ke PalestineSebelum beliau dilahirkan, keluarganya telah berpindah ke Palestine keranabeberapa keperluan dan bapanya terlibat di dalam angkatan tentera yangditugaskan untuk mengawal perbatasan Islam di sana.Kelahiran dan KehidupannyaMenurut pendapat yang masyhur, beliau dilahirkan di Ghazzah – Palestine padatahun 150 Hijrah. Tidak lama sesudah beliau dilahirkan bapanya meninggaldunia. Tinggallah beliau bersama-sama ibunya sebagai seorang anak yatim.Kehidupan masa kecilnya dilalui dengan serba kekurangan dan kesulitan.PENGEMBARAAN IMAM AL-SHAFI’IHidup Imam As-Shafi’i (150H – 204H ) merupakan satu siri pengembaraan yangtersusun di dalam bentuk yang sungguh menarik dan amat berkesan terhadappembentukan kriteria ilmiah dan popularitinya.Al-Shafi’i di Makkah ( 152H – 164H )Pengembaraan beliau bermula sejak beliau berumur dua tahun lagi (152H),ketika itu beliau dibawa oleh ibunya berpindah dari tempat kelahirannya iaitu dariGhazzah, Palestine ke Kota Makkah untuk hidup bersama kaum keluarganya disana.Di kota Makkah kehidupan beliau tidak tetap kerana beliau dihantar keperkampungan Bani Huzail, menurut tradisi bangsa Arab ketika itu bahawapenghantaran anak-anak muda mereka ke perkampungan tersebut dapat mewarisi kemahiran bahasa ibunda mereka dari sumber asalnya yang belum lagiterpengaruh dengan integrasi bahasa-bahasa asing seperti bahasa Parsi dansebagainya.

Satu perkara lagi adalah supaya pemuda mereka dapat dibekalkandengan Al-Furusiyyah (Latihan Perang Berkuda). Kehidupan beliau di peringkatini mengambil masa dua belas tahun ( 152 – 164H ).Sebagai hasil dari usahanya, beliau telah mahir dalam ilmu bahasa dan sejarahdi samping ilmu-ilmu yang berhubung dengan Al-Quran dan Al-Hadith. Selepaspulang dari perkampungan itu beliau meneruskan usaha pembelajarannyadengan beberapa mahaguru di Kota Makkah sehingga beliau menjadi terkenal.Dengan kecerdikan dan kemampuan ilmiahnya beliau telah dapat menarikperhatian seorang mahagurunya iaitu Muslim bin Khalid Al-Zinji yangmengizinkannya untuk berfatwa sedangkan umur beliau masih lagi di peringkatremaja iaitu lima belas tahun.Al-Shafi’i di Madinah ( 164H – 179H )Sesudah itu beliau berpindah ke Madinah dan menemui Imam Malik. Beliauberdamping dengan Imam Malik di samping mempelajari ilmunya sehinggalahImam Malik wafat pada tahun 179H, iaitu selama lima belas tahun.Semasa beliau bersama Imam Malik hubungan beliau dengan ulama-ulama lainyang menetap di kota itu dan juga yang datang dari luar berjalan dengan baikdan berfaedah. Dari sini dapatlah difahami bahawa beliau semasa di Madinahtelah dapat mewarisi ilmu bukan saja dari Imam Malik tetapi juga dari ulama-ulama lain yang terkenal di kota itu.Al-Shafi’i di Yaman ( 179H – 184H )Apabila Imam Malik wafat pada tahun 179H, kota Madinah diziarahi olehGabenor Yaman. Beliau telah dicadangkan oleh sebahagian orang-orangQurasyh Al-Madinah supaya mencari pekerjaan bagi Al-Shafi’i. Lalu beliaumelantiknya menjalankan satu pekerjaan di wilayah Najran.Sejak itu Al-Shafi’i terus menetap di Yaman sehingga berlaku pertukaranGabenor wilayah itu pada tahun 184H. Pada tahun itu satu fitnah ditimbulkanterhadap diri Al-Shafi’i sehingga beliau dihadapkan ke hadapan Harun Al-Rashiddi Baghdad atas tuduhan Gabenor baru itu yang sering menerima kecaman Al-Shafi’i kerana kekejaman dan kezalimannya. Tetapi ternyata bahawa beliau tidakbersalah dan kemudiannya beliau dibebaskan.Al-Shafi’i di Baghdad ( 184H – 186H )Peristiwa itu walaupun secara kebetulan, tetapi membawa erti yang amat besar kepada Al-Shafi’i kerana pertamanya, ia berpeluang menziarahi kota Baghdad yang terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan para ilmuan pada ketika itu.Keduanya, ia berpeluang bertemu dengan Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, seorang tokoh Mazhab Hanafi dan sahabat karib Imam Abu Hanifahdan lain-lain tokoh di dalam Mazhab Ahl al-Ra’y.Dengan peristiwa itu terbukalah satu era baru dalam siri pengembaraan Al-Imamke kota Baghdad yang dikatakan berlaku sebanyak tiga kali sebelum beliauberpindah ke Mesir.Dalam pengembaraan pertama ini Al-Shafi’i tinggal di kota Baghdad sehinggatahun 186H. Selama masa ini (184 – 186H) beliau sempat membaca kitab-kitabMazhab Ahl al-Ra’y dan mempelajarinya, terutamanya hasil tulisan Muhammadbin Al-Hassan Al-Shaibani, di samping membincanginya di dalam beberapaperdebatan ilmiah di hadapan Harun Al-Rashid sendiri.Al-Shafi’i di Makkah ( 186H – 195H )Pada tahun 186H, Al-Shafi’i pulang ke Makkah membawa bersamanya hasilusahanya di Yaman dan Iraq dan beliau terus melibatkan dirinya di bidangpengajaran. Dari sini muncullah satu bintang baru yang berkerdipan di ruanglangit Makkah membawa satu nafas baru di bidang fiqah, satu nafas yang bukanHijazi, dan bukan pula Iraqi dan Yamani, tetapi ia adalah gabungan dari kesemua aliran itu. Sejak itu menurut pendapat setengah ulama, lahirlah satuMazhab Fiqhi yang baru yang kemudiannya dikenali dengan Mazhab Al-Shafi’i.Selama sembilan tahun (186 – 195H) Al-Shafi’i menghabiskan masanya di kotasuci Makkah bersama-sama para ilmuan lainnya, membahas, mengajar,mengkaji di samping berusaha untuk melahirkan satu intisari dari beberapa alirandan juga persoalan yang sering bertentangan yang beliau temui selama masaitu.Al-Shafi’i di Baghdad ( 195H – 197H )Dalam tahun 195H, untuk kali keduanya Al-Shafi’i berangkat ke kota Baghdad.Keberangkatannya kali ini tidak lagi sebagai seorang yang tertuduh, tetapisebagai seorang alim Makkah yang sudah mempunyai personaliti dan aliranfiqah yang tersendiri. Catatan perpindahan kali ini menunjukkan bahawa beliautelah menetap di negara itu selama dua tahun (195 – 197H).Di dalam masa yang singkat ini beliau berjaya menyebarkan “Method Usuli” yangberbeza dari apa yang dikenali pada ketika itu. Penyebaran ini sudah tentumenimbulkan satu respon dan reaksi yang luarbiasa di kalangan para ilmuanyang kebanyakannya adalah terpengaruh dengan method Mazhab Hanafi yangdisebarkan oleh tokoh utama Mazhab itu, iaitu Muhammad bin Al-Hasan Al-Shaibani Kata Al-Karabisi : “Kami sebelum ini tidak kenal apakah (istilah) Al-Kitab, Al-Sunnah dan Al-Ijma’, sehinggalah datangnya Al-Shafi’i, beliaulah yangmenerangkan maksud Al-Kitab, Al-Sunnah dan Al-Ijma’”.Kata Abu Thaur : “Kata Al-Shafi’i : Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menyebut (didalam kitab-Nya) mengenai sesuatu maksud yang umum tetapi Ia menghendakimaksudnya yang khas, dan Ia juga telah menyebut sesuatu maksud yang khastetapi Ia menghendaki maksudnya yang umum, dan kami (pada ketika itu) belumlagi mengetahui perkara-perkara itu, lalu kami tanyakan beliau …”Pada masa itu juga dikatakan beliau telah menulis kitab usulnya yang pertamaatas permintaan ‘Abdul Rahman bin Mahdi, dan juga beberapa penulisan laindalam bidang fiqah dan lain-lain.Al-Shafi’i di Makkah dan Mesir ( 197H – 204H )Sesudah dua tahun berada di Baghdad (197H) beliau kembali ke Makkah. Padatahun 198H, beliau keluar semula ke Baghdad dan tinggal di sana hanyabeberapa bulan sahaja. Pada awal tahun 199H, beliau berangkat ke Mesir dansampai ke negara itu dalam tahun itu juga.

Di negara baru ini beliau menetapsehingga ke akhir hayatnya pada tahun 204H.FATWA-FATWA IMAM AL-SHAFI’IPerpindahan beliau ke Mesir mengakibatkan satu perubahan besar dalamMazhabnya. Kesan perubahan ini melibatkan banyak fatwanya semasa beliau diBaghdad turut sama berubah. Banyak kandungan kitab-kitab fiqahnya yangbeliau hasilkan di Baghdad disemak semula dan diubah. Dengan ini terdapat duafatwa bagi As-Shafi’i, fatwa lama dan fatwa barunya. Fatwa lamanya ialah segalafatwa yang diucapkan atau ditulisnya semasa beliau berada di Iraq, fatwabarunya ialah fatwa yang diucapkan atau ditulisnya semasa beliau berada diMesir. Kadang-kadang dipanggil fatwa lamanya dengan Mazhabnya yang lamaatau Qaul Qadim dan fatwa barunya dinamakan dengan Mazhab barunya atauQaul Jadid.Di sini harus kita fahami bahawa tidak kesemua fatwa barunya menyalahi fatwalamanya dan tidak pula kesemua fatwa lamanya dibatalkannya, malahan ada diantara fatwa barunya yang menyalahi fatwa lamanya dan ada juga yangbersamaan dengan yang lama. Kata Imam Al-Nawawi : “Sebenarnya sebabdikatakan kesemua fatwa lamanya itu ditarik kembali dan tidak diamalkannyahanyalah berdasarkan kepada ghalibnya sahaja”.Imam As-Shafi’i pulang ke pangkuan Ilahi pada tahun 204H, tetapikepulangannya itu tidaklah mengakibatkan sebarang penjejasan terhadap perkembangan aliran Fiqhi dan Usuli yang diasaskannya. Malahan asas itudisebar dan diusaha-kembangkan oleh para sahabatnya yang berada di Al-Hijaz,Iraq dan Mesir.PARA SAHABAT IMAM AL-SHAFI’IDi antara para sahabat Imam Al-Shafi’i yang terkenal di Al-Hijaz (Makkah dan Al-Madinah) ialah :-1. Abu Bakar Al-Hamidi, ‘Abdullah bun Al-Zubair Al-Makki yang wafat pada tahun219H.2. Abu Wahid Musa bin ‘Ali Al-Jarud Al-Makki yang banyak menyalin kitab-kitabAl-Shafi’i. Tidak diketahui tarikh wafatnya.3. Abu Ishak Ibrahim bin Muhammad bin Al-‘Abbasi bin ‘Uthman bin Shafi ‘Al-Muttalibi yang wafat pada tahun 237H.4. Abu Bakar Muhammad bin Idris yang tidak diketahui tarikh wafatnya.Sementara di Iraq pula kita menemui ramai para sahabat Imam Al-Shafi’i yangterkenal, di antara mereka ialah :-1. Abu ‘Abdullah Ahmad bin Hanbal, Imam Mazhab yang keempat. Beliau wafatpada tahun 241H.2. Abu ‘Ali Al-Hasan bin Muhammad Al-Za’farani yang wafat pada tahun 249H.3. Abu Thaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi yang wafat pada tahun 240H.4. Al-Harith bin Suraij Al-Naqqal, Abu ‘Umar. Beliau wafat pada tahun 236H.5. Abu ‘Ali Al-Husain bin ‘Ali Al-Karabisi yang wafat pada tahun 245H.6. Abu ‘Abdul RahmanAhmad bin Yahya Al-Mutakallim. Tidak diketahui tarikhwafatnya.7. Abu Zaid ‘Abdul Hamid bin Al-Walid Al-Misri yang wafat pada tahun 211H.8. Al-Husain Al-Qallas. Tidak diketahui tarikh wafatnya.9. ‘Abdul ‘Aziz bin Yahya Al-Kannani yang wafat pada tahun 240H.10. ‘Ali bin ‘Abdullah Al-Mudaiyini.Di Mesir pula terdapat sebilangan tokoh ulama yang kesemua mereka adalahsahabat Imam Al-Shafi’i, seperti :

1. Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya bin ‘Amru bin Ishak Al-Mudhani yang wafat padatahun 264H
2. Abu Muhammad Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi yang wafat pada tahun 270H
3. Abu Ya’kub Yusuf bin Yahya Al-Misri Al-Buwaiti yang wafat pada tahun 232H
Tokoh Muslim
4. Abu Najib Harmalah bin Yahya Al-Tajibi yang wafat pada tahun 243H
5. Abu Musa Yunus bin ‘Abdul A’la Al-Sadaghi yang wafat pada tahun 264H
6. Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam Al-Misri yang wafatpada tahun 268H
7. Al-Rabi’ bin Sulaiman Al-Jizi yang wafat pada tahun 256H.

Dari usaha gigih mereka, Mazhab Al-Shafi’i tersebar dan berkembang luas diseluruh rantau Islam di zaman-zaman berikutnya.PERKEMBANGAN MAZHAB IMAM AL-SHAFI’IMenurut Ibn Al-Subki bahawa Mazhab Al-Shafi’I telah berkembang dan menjalar pengaruhnya di merata-rata tempat, di kota dan di desa, di seluruh rantaunegara Islam. Pengikut-pengikutnya terdapat di Iraq dan kawasan-kawasansekitarnya, di Naisabur, Khurasan, Muru, Syria, Mesir, Yaman, Hijaz, Iran dan dinegara-negara timur lainnya hingga ke India dan sempadan negara China.Penyebaran yang sebegini meluas setidak-tidaknya membayangkan kepada kitasejauh mana kewibawaan peribadi Imam Al-Shafi’i sebagai seorang tokoh ulamadan keunggulan Mazhabnya sebagai satu-satunya aliran fiqah yang mencabar aliran zamannya. IMAM AL-SHAFI’I DAN PENULISANNYAPermulaan MazhabnyaSebenarnya penulisan Imam Al-Shafi’i secara umumnya mempunyai pertalianyang rapat dengan pembentukan Mazhabnya. Menurut Muhammad Abu Zahrahbahawa pwmbentukan Mazhabnya hanya bermula sejak sekembalinya darikunjungan ke Baghdad pada tahun 186H. Sebelum itu Al-Shafi’i adalah salahseorang pengikut Imam Malik yang sering mempertahankan pendapatnya dan juga pendapat fuqaha’ Al-Madinah lainnya dari kecaman dan kritikan fuqaha’ AhlAl-Ra’y. Sikapnya yang sebegini meyebabkan beliau terkenal dengan panggilan“Nasir Al-Hadith”.Detik terawal Mazhabnya bermula apabila beliau membuka tempatpengajarannya (halqah) di Masjid Al-Haram. Usaha beliau dalammemperkembangkan Mazhabnya itu bolehlah dibahagikan kepada 3 peringkat :

1. Peringkat Makkah (186 – 195H)
2. Peringkat Baghdad (195 – 197H)
3. Peringkat Mesir (199 – 204H).

Dalam setiap peringkat diatas beliau mempunyai ramai murid dan para pengikutyang telah menerima dan menyebar segala pendapat ijtihad dan juga hasilkajiannya.Penulisan PertamanyaMemang agak sulit untuk menentukan apakah kitab pertama yang dihasilkanoleh Al-Shafi’i dan di mana dan selanjutnya apakah kitab pertama yangdihasilkannya dalam Ilmu Fiqah dan di mana? Kesulitan ini adalah berpunca daritidak adanya keterangan yang jelas mengenai kedua-dua perkara tersebut.

Pengembaraannya dari satu tempat ke satu tempat yang lain dan pulangnyasemula ke tempat awalnya tambah menyulitkan lagi untuk kita menentukan ditempat mana beliau mulakan usaha penulisannya.Apa yang kita temui – sesudah kita menyemak beberapa buah kitab lama danbaru yang menyentuh sejarah hidupnya, hanya beberapa tanda yangmenunjukkan bahawa kitabnya “Al-Risalah” adalah ditulis atas permintaan ‘AbdulRahman bin Mahdi, iaitu sebuah kitab di dalam Ilmu Usul, pun keterangan initidak juga menyebut apakah kitab ini merupakan hasil penulisannya yangpertama atau sebelumnya sudah ada kitab lain yang dihasilkannya. Di sampingadanya pertelingkahan pendapat di kalangan ‘ulama berhubung dengan tempatdi mana beliau menghasilkan penulisan kitabnya itu. Ada pendapat yangmengatakan bahawa beliau menulisnya sewaktu beliau berada di Makkah danada juga pendapat yang mengatakan bahawa beliau menulisnya ketika berada diIraq.Kata Ahmad Muhammad Shakir : “Al-Shafi’I telah mengarang beberapa buahkitab yang jumlahnya agak besar, sebahagiannya beliau sendiri yangmenulisnya, lalu dibacakannya kepada orang ramai. Sebahagiannya pula beliaumerencanakannya sahaja kepada para sahabatnya. Untuk mengira bilangankitab-kitabnya itu memanglah sukar kerana sebahagian besarnya telahpunhilang. Kitab-kitab itu telah dihasilkan penulisannya ketika beliau berada diMakkah, di Baghdad dan di Mesir”.Kalaulah keterangan di atas boleh dipertanggungjawabkan maka dapatlah kitamembuat satu kesimpulan bahawa Al-Shafi’i telah memulakan siri penulisannyasewaktu beliau di Makkah lagi, dan kemungkinan kitabnya yang pertama yangdihasilkannya ialah kitab “Al-Risalah”.Al-Hujjah Dan Kitab-kitab Mazhab QadimDi samping “Al-Risalah” terdapat sebuah kitab lagi yang sering disebut-sebutoleh para ulama sebagai sebuah kitab yang mengandungi fatwa Mazhab Qadimnya iaitu “Al-Hujjah”. Pun keterangan mengenai kitab ini tidakmenunjukkan bahawa ia adalah kitab pertama yang di tulis di dala bidang IlmuFiqah semasa beliau berada di Iraq, dan masa penulisannya pun tidak begitu jelas. Menurut beberapa keterangan, beliau menghasilkannya sewaktu beliauberpindah ke negara itu pada kali keduanya, iaitu di antara tahun-tahun 195 –197H.Bersama-sama “Al-Hujjah” itu terdapat beberapa buah kitab lain di dalam IlmuFiqah yang beliau hasilkan sendiri penulisannya atau beliau merencanakannyakepada para sahabatnya di Iraq, antaranya seperti kitab-kitab berikut :
1. Al-Amali
2. Majma’ al-Kafi
3. ‘Uyun al-Masa’il
4. Al-Bahr al-Muhit
5. Kitab al-Sunan
6. Kitab al-Taharah
7. Kitab al-Solah
8. Kitab al-Zakah
9. Kitab al-Siam
10. Kitab al-Haj
11. Bitab al-I’tikaf
12. Kitab al-Buyu’
13. Kitab al-Rahn
14. Kitab al-Ijarah
15. Kitab al-Nikah
16. Kitab al-Talaq
17. Kitab al-Sadaq
18. Kitab al-Zihar
19. Kitab al-Ila’
20. Kitab al-Li’an
21. Kitab al-Jirahat
22. Kitab al-Hudud
23. Kitab al-Siyar
24. Kitab al-Qadaya
25. Kitab Qital ahl al-Baghyi
26. Kitab al-‘Itq dan lain-

lainSetengah perawi pula telah menyebut bahawa kitab pertama yang dihasilkanoleh Al-Shafi’i adalah di dalam bentuk jawapan dan perdebatan, iaitu satu penulisan yang dituju khas kepada fuqaha’ ahl al-Ra’y sebagai menjawabkecaman-kecaman mereka terhadap Malik dan fuqaha’ Al-Madinah. Kenyataanmereka ini berdasarkan kepada riwayat Al-Buwaiti : “Kata Al-Shafi’i : Ashab Al-Hadith (pengikut Imam Malik) telah berhimpun bersama-sama saya. Merekatelah meminta saya menulis satu jawapan terhadap kitab Abu Hanifah. Sayamenjawab bahawa saya belum lagi mengetahui pendapat mereka, berilahpeluang supaya dapat saya melihat kitab-kitab mereka. Lantas saya memintasupaya disalinkan kitab-kitab itu.Lalu disalin kitab-kitab Muhammad bin Al-Hasanuntuk (bacaan) saya. Saya membacanya selama setahun sehingga saya dapatmenghafazkan kesemuanya.

Kemudian barulah saya menulis kitab saya diBaghdad.Kalaulah berdasarkan kepada keterangan di atas, maka kita pertama yangdihasilkan oleh Al-Shafi’i semasa beliau di Iraq ialah sebuah kitab dalam bentuk jawapan dan perdebatan, dan cara penulisannya adalah sama dengan carapenulisan ahl al-Ra’y. Ini juga menunjukkan bahawa masa penulisannya itu lebihawal dari masa penulisan kitab “Al-Risalah”, iaitu di antara tahun-tahun 184 –186H.Method Penulisan Kitab-Kitab QadimBerhubung dengan method penulisan kitab “Al-Hujjah” dan lain-lain belum dapatkita pastikan dengan yakin kerana sikap asalnya tida kita temui, kemungkinanmasih lagi ada naskah asalnya dan kemungkinan juga ianya sudah hilang ataurosak dimakan zaman. Walaubagaimanapun ia tidak terkeluar – ini hanya satukemungkinan sahaja – dari method penulisan zamannya yang dipengaruhidengan aliran pertentangan mazhab-mazhab fuqaha’ di dalam beberapamasalah, umpamanya pertentangan yang berlaku di antara mazhab beliaudengan Mazhab Hanafi da juga Mazhab Maliki. Keadaan ini dapat kita lihatdalam penulisan kitab “Al-Um” yang pada asalnya adalah kumpulan daribeberapa buah kitab Mazhab Qadimnya. Setiap kitab itu masing-masingmembawa tajuknya yang tersendiri, kemudian kita itu pula dipecahkan kepadabab-bab kecil yang juga mempunyai tajuk-tajuk yang tersendiri.
Di dalam setiapbab ini dimuatkan dengan segala macam masalah fiqah yang tunduk kepadatajuk besar iaitu tajuk bagi sesuatu kitab, umpamanya kitab “Al-Taharah”, iamengandungi tiga puluh tujuh tajuk bab kecil, kesemua kandungan bab-bab ituada kaitannya dengan Kitab “Al-Taharah”.
Perawi Mazhab QadimRamai di antara para sahabatnya di Iraq yang meriwayat fatwa qadimnya, diantara mereka yang termasyhur hanya empat orang sahaja :1. Abu Thaur, Ibrahim bin Khalid yang wafat pada tahun 240H.2. Al-Za’farani, Al-Hasan bin Muhammad bin Sabah yang wafat pada tahun260H.3. Al-Karabisi, Al-Husain bin ‘Ali bin Yazid, Abu ‘Ali yang wafat pada tahun 245H.4. Ahmad bin Hanbal yang wafat pada tahun 241H.Menurut Al-Asnawi, Al-Shafi’i adalah ‘ulama’ pertama yang hasil penulisannyameliputi banyak bab di dalam Ilmu Fiqah.Perombakan Semula Kitab-kitab QadimPerpindahan beliau ke Mesir pada tahun 199H menyebabkan berlakunya saturombakan besar terhadap fatwa lamanya. Perombakan ini adalah berpunca daripenemuan beliau dengan dalil-dalil baru yang belum ditemuinya selama ini, ataukerana beliau mendapati hadis-hadis yang sahih yang tidak sampai kepengetahuannya ketika beliau menulis kitab-kitab qadimnya, atau kerana hadis-hadis itu terbukti sahihnya sewaktu beliau berada di Mesir sesudahkesahihannya selama ini tidak beliau ketahui. Lalu dengan kerana itu beliau telahmenolak sebahagian besar fatwa lamanya dengan berdasarkan kepadaprinsipnya : “Apabila ditemui sesebuah hadis yang sahih maka itulah Mazhabsaya”.Di dalam kitab “Manaqib Al-Shafi’i”, Al-Baihaqi telah menyentuh nama beberapabuah kitab lama (Mazhab Qadim) yang disemak semula oleh Al-Shafi’i dandiubah sebahagian fatwanya, di antara kitab-kitab itu ialah :-1. Al-Risalah2. Kitab al-Siyam3. Kitab al-Sadaq4. Kitab al-Hudud5. Kitab al-Rahn al-Saghir 6. Kitab al-Ijarah7. Kitab al-Jana’izMenurut Al-Baihaqi lagi Al-shafi’i telah menyuruh supaya dibakar kitab-kitablamanya yang mana fatwa ijtihadnya telah diubah.Catatan Al-Baihaqi itu menunjukkan bahawa Al-Shafi’i melarang para sahabatnyameriwayat pendapat-pendapat lamanya yang ditolak kepada orang ramai.

Walaupun begitu kita masih menemui pendapat-pendapat itu berkecamuk disana-sini di dalam kitab-kitab fuqaha’ mazhabnya samada kitab-kitab yang ditulisfuqaha’ yang terdahulu atau pun fuqaha’ yang terkemudian. Kemungkinan hal iniberlaku dengan kerana kitab-kitab lamanya yang diriwayatkan oleh Al-Za’farani,Al-Karabisi dan lain-lain sudah tersebar dengan luasnya di Iraq dan diketahuiumum, terutamanya di kalangan ulama dan mereka yang menerima pendapat-pendapatnya itu tidak mengetahui larangan beliau itu.Para fuqaha’ itu bukan sahaja mencatat pendapat-pendapat lamanya di dalampenulisan mereka, malah menurut Al-Nawawi ada di antara mereka yang beranimentarjihkan pendapat-pendapat itu apabila mereka mendapatinya disokongoleh hadis-hadis yang sahih.Pentarjihan mereka ini tidak pula dianggap menentangi kehendak Al-Shafi’i,malahan itulah pendapat mazhabnya yang berdasarkan kepada prinsipnya :“Apabila ditemui sesebuah hadis yang sahih maka itulah mazhab saya”.Tetapi apabila sesuatu pendapat lamanya itu tidak disokong oleh hadis yangsahih kita akan menemui dua sikap di kalangan fuqaha’ Mazhab Al-Shafi’i :-Pertamanya : Pendapat itu harus dipilih dan digunakan oleh seseorang mujtahidMazhab Al-Shafi’i atas dasar ia adalah pendapat Al-Shafi’i yang tidakdimansuhkan olehnya, kerana seseorang mujtahid (seperti Al-Shafi’i) apabila iamengeluarkan pendapat barumya yang bercanggah dengan pendapat lamanyatidaklah bererti bahawa ia telah menarik pendapat pertamanya, bahkan di dalammasalah itu dianggap mempunyai dua pendapatnya.Keduanya : Tidak harus ia memilih pendapat lama itu. Inilah pendapat jumhur fuqaha’ Mazhab Al-Shafi’i kerana pendapat lama dan baru adalah duapendapatnya yang bertentangan yang mustahil dapat diselaraskan kedua-duanya.Kitab-kitab Mazhab JadidDi antara kitab-kitab yang beliau hasilkan penulisannya di Mesir atau beliaumerencanakannya kepada para sahabatnya di sana ialah :-i. Al-Risalah. Kitab ini telah ditulis buat pertama kalinya sebelum beliauberpeindah ke Mesir.ii. Beberapa buah kitab di dalam hukum-hukum furu’ yang terkandung di dalamkitab “Al-Um”, seperti :-a) Di dalam bab Taharah :

1. Kitab al-Wudu’
2. Kitab al-Tayammum
3. Kitab al-Taharah
4. Kitab Masalah al-Mani
5. Kitab al-HaidB) Di dalam bab Solah :
6. Kitab Istiqbal al-Qiblah
7. Kitab al-Imamah
8. Kitab al-Jum’ah
9. Kitab Solat al-Khauf
10. Kitab Solat al-‘Aidain
11. Kitab al-Khusuf
12. Kitab al-Istisqa’
13. Kitab Solat al-Tatawu’
14. Al-Hukm fi Tarik al-Solah
15. Kitab al-Jana’iz
16. Kitab Ghasl al-Mayyitc) Di dalam bab Zakat :
17. Kitab al-Zakah18. Kitab Zakat Mal al-Yatim
19. Kitab Zakat al-Fitr
20. Kitab Fard al-Zakah
21. Kitab Qasm al-Sadaqatd) Di dalam bab Siyam (Puasa) :
22. Kitab al-Siyam al-Kabir
23. Kitab Saum al-Tatawu’
24. Kitab al-I’tikaf e) Di dalam bab Haji :
25. Kitab al-Manasik al-Kabir
26. Mukhtasar al-Haj al-Kabir
27. Mukhtasar al-Haj al-Saghir f) Di dalam bab Mu’amalat :
28. Kitab al-Buyu’
29. Kitab al-Sarf
30. Kitab al-Salam
31. Kitab al-Rahn al-Kabir
32. Kitab al-Rahn al-Saghir
33. Kitab al-Taflis
34. Kitab al-Hajr wa Bulugh al-Saghir
35. Kitab al-Sulh
36. Kitab al-Istihqaq
37. Kitab al-Himalah wa al-Kafalah
38. Kitab al-Himalah wa al-Wakalah wa al-Sharikah
39. Kitab al-Iqrar wa al-Mawahib
40. Kitab al-Iqrar bi al-Hukm al-Zahir
41. Kitab al-Iqrar al-Akh bi Akhihi
42. Kitab al-‘Ariah
43. Kitab al-Ghasb
44. Kitab al-Shaf’ahg) Di dalam bab Ijarat (Sewa-menyewa) :
45. Kitab al-Ijarah
46. Kitab al-Ausat fi al-Ijarah
47. Kitab al-Kara’ wa al-Ijarat
48. Ikhtilaf al-Ajir wa al-Musta’jir
49. Kitab Kara’ al-Ard
50. Kara’ al-Dawab
51. Kitab al-Muzara’ah
52. Kitab al-Musaqah
53. Kitab al-Qirad
54. Kitab ‘Imarat al-Aradin wa Ihya’ al-Mawath) Di dalam bab ‘Ataya (Hadiah-menghadiah) :
55. Kitab al-Mawahib
56. Kitab al-Ahbas
57. Kitab al-‘Umra wa al-Ruqbai) Di dalam bab Wasaya (Wasiat) :
58. Kitab al-Wasiat li al-Warith
59. Kitab al-Wasaya fi al-‘Itq
60. Kitab Taghyir al-Wasiah
61. Kitab Sadaqat al-Hay’an al-Mayyit
62. Kitab Wasiyat al-Hamil j) Di dalam bab Faraid dan lain-lain :
63. Kitab al-Mawarith
64. Kitab al-Wadi’ah
65. Kitab al-Luqatah
66. Kitab al-Laqitk) Di dalam bab Nikah :
67. Kitab al-Ta’rid bi al-Khitbah
68. Kitab Tahrim al-Jam’i
69. Kitab al-Shighar
70. Kitab al-Sadaq .
71. Kitab al-Walimah
72. Kitab al-Qism
73. Kitab Ibahat al-Talaq
74. Kitab al-Raj’ah
75. Kitab al-Khulu’ wa al-Nushuz
76. Kitab al-Ila’
77. Kitab al-Zihar
78. Kitab al-Li’an
79. Kitab al-‘Adad
80. Kitab al-Istibra’
81. Kitab al-Rada’
82. Kitab al-Nafaqatl) Di dalam bab Jirah (Jenayah) :
83. Kitab Jirah al-‘Amd
84. Kitab Jirah al-Khata’ wa al-Diyat
85. Kitab Istidam al-Safinatain
86. Al-Jinayat ‘ala al-Janin
87. Al-Jinayat ‘ala al-Walad
88. Khata’ al-Tabib
89. Jinayat al-Mu’allim
90. Jinayat al-Baitar wa al-Hujjam
91. Kitab al-Qasamah
92. Saul al-Fuhlm) Di dalam bab Hudud :
93. Kitab al-Hudud
94. Kitab al-Qat’u fi al-Sariqah
95. Qutta’ al-Tariq
96. Sifat al-Nafy
97. Kitab al-Murtad al-Kabir
98. Kitab al-Murtad al-Saghir
99. Al-Hukm fi al-Sahir
100. Kitab Qital ahl al-Baghyn) Di dalam bab Siar dan Jihad :
101. Kitab al-Jizyah
102. Kitab al-Rad ‘ala Siyar al-Auza’i
103. Kitab al-Rad ‘ala Siyar al-Waqidi
104. Kitab Qital al-Mushrikin
105. Kitab al-Asara wa al-Ghulul
106. Kitab al-Sabq wa al-Ramy
107. Kitab Qasm al-Fai’ wa al-Ghanimaho) Di dalam bab At’imah (Makan-makanan) :
108. Kitab al-Ta’am wa al-Sharab
109. Kitab al-Dahaya al-Kabir
110. Kitab al-Dahaya al-Saghir
111. Kitab al-Said wa al-Dhabaih
112. Kitab Dhabaih Bani Israi
113. Kitab al-Ashribahp) Di dalam bab Qadaya (Kehakiman) :
114. Kitab Adab al-Qadi
115. Kitab al-Shahadat
116. Kitab al-Qada’ bi al-Yamin ma’a al-Shahid
117. Kitab al-Da’wa wa al-Bayyinat
118. Kitab al-Aqdiah
119. Kitab al-Aiman wa al-Nudhur q) Di dalam bab ‘Itq (Pembebasan) dan lain-lain :
120. Kitab al-‘Itq
121. Kitab al-Qur’ah
122. Kitab al-Bahirah wa al-Sa’ibah
123. Kitab al-Wala’ wa al-Half
124. Kitab al-Wala’ al-Saghir
125. Kitab al-Mudabbir 126. Kitab al-Mukatab
127. Kitab ‘Itq Ummahat al-Aulad
128. Kitab al-Shurut

Di samping kitab-kitab di atas ada lagi kitab-kitab lain yang disenaraikan oleh al-Baihaqi sebagai kitab-kitab usul, tetapi ia juga mengandungi hukum-hukum furu’,seperti :-1. Kitab Ikhtilaf al-Ahadith2. Kitab Jima’ al-Ilm3. Kitab Ibtal al-Istihsan4. Kitan Ahkam al-Qur’an5. Kitab Bayan Fard al-Lah, ‘Azza wa Jalla6. Kitab Sifat al-Amr wa al-Nahy7. Kitab Ikhtilaf Malik wa al-Shafi’i8. Kitab Ikhtilaf al-‘Iraqiyin9. Kitab al-Rad ‘ala Muhammad bin al-Hasan 10. Kitab ‘Ali wa ‘Abdullah11. Kitab Fada’il QurayshAda sebuah lagi kitab al-Shafi’i yang dihasilkannya dalam Ilmu Fiqah iaitu “al-Mabsut”. Kitab ini diperkenalkan oleh al-Baihaqi dan beliau menamakannyadengan “al-Mukhtasar al-Kabir wa al-Manthurat”, tetapi pada pendapat setengahulama kemungkinan ia adalah kitab “al-Um”.Sumber.

: http://islam.blogsome.com