Sejarah Singkat Ibnu Taimiyah

Duaberita – Saduran Dari Kitab yaikhul Islam Ibnu Taimiyyah


SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH
: Syeikhul

Islam Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad Bin Abdul Halim Bin Abdus Salam Bin
Abdullah bin Al-Khidhir bin Muhammad bin Taimiyah An-Numairy Al Harani
Adimasqi Al Hambali. Beliau adalah Imam, Qudwah, ‘Alim, Zahid
dan Da’i ila Allah, baik dengan kata, tindakan, kesabaran maupun
jihadnya. Syaikhul Islam, Mufti Anam, pembela dinullah dan penghidup
sunah Rasul shalallahu’alaihi wa sallam yang telah dimatikan oleh
banyak orang.

Lahir di Harran, salah satu kota induk di Jazirah Arabia yang
terletak antara sungai Dajalah (Tigris) dengan Efrat, pada hari Senin
10 Rabiu’ul Awal tahun 661H. Beliau berhijrah ke Damasyq (Damsyik)
bersama orang tua dan keluarganya ketika umurnya masih kecil,
disebabkan serbuan tentara Tartar atas negerinyaa. Mereka menempuh
perjalanan hijrah pada malam hari dengan menyeret sebuah gerobak besar
yang dipenuhi dengan kitab-kitab ilmu, bukan barang-barang perhiasan
atau harta benda, tanpa ada seekor binatang tunggangan-pun pada mereka.

Suatu saat gerobak mereka mengalami kerusakan di
tengah jalan, hingga hampir saja pasukan musuh memergokinya. Dalam
keadaan seperti ini, mereka ber-istighatsah (mengadukan permasalahan)
kepada Allah Ta’ala. Akhirnya mereka bersama kitab-kitabnya dapat
selamat.

PERTUMBUHAN DAN GHIRAHNYA KEPADA ILMU

Semenjak kecil sudah nampak tanda-tanda kecerdasan pada diri beliau.
Begitu tiba di Damsyik beliau segera menghafalkan Al-Qur’an dan mencari
berbagai cabang ilmu pada para ulama, huffazh dan ahli-ahli hadits
negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama
tersebut tercengang.

Ketika umur beliau belum mencapai belasan tahun, beliau sudah
menguasai ilmu Ushuluddin dan sudah mengalami bidang-bidang tafsir,
hadits dan bahasa Arab.
Pada unsur-unsur itu, beliau telah mengkaji musnad Imam Ahmad sampai
beberapa kali, kemudian kitabu-Sittah dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir.

Suatu kali, ketika beliau masih kanak-kanak pernah ada seorang ulama
besar dari Halab (suatu kota lain di Syria sekarang, pen.) yang sengaja
datang ke Damasyiq, khusus untuk melihat si bocah bernama Ibnu Taimiyah
yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan
tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata
Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula
ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, beliaupun dengan tepat
pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya. Hingga ulama tersebut
berkata: “Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan
besar, sebab belum pernah ada seorang bocah seperti dia.

Sejak kecil beliau hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama,
mempunyai kesempatan untuk mereguk sepuas-puasnya taman bacaan berupa
kitab-kitab yang bermanfaat. Beliau infakkan seluruh waktunya untuk
belajar dan belajar, menggali ilmu terutama kitabullah dan sunah
Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam.

Lebih dari semua itu, beliau adalah orang yang keras pendiriannya
dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah,
mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Beliau
pernah berkata: ”Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah,
sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan
beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi
lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar,
di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk
berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.”
Begitulah seterusnya Ibnu Taimiyah, selalu sungguh-sungguh dan tiada
putus-putusnya mencari ilmu, sekalipun beliau sudah menjadi tokoh
fuqaha’ dan ilmu serta dinnya telah mencapai tataran tertinggi.

PUJIAN ULAMA

Al-Allamah As-Syaikh Al-Karamy Al-Hambali dalam Kitabnya Al-Kawakib
AD-Darary yang disusun kasus mengenai manaqib (pujian terhadap
jasa-jasa) Ibnu Taimiyah, berkata: “Banyak sekali imam-imam Islam yang
memberikan pujian kepada (Ibnu Taimiyah) ini. Diantaranya: Al-Hafizh
Al-Mizzy, Ibnu Daqiq Al-Ied, Abu Hayyan An-Nahwy, Al-Hafizh Ibnu Sayyid
An-Nas, Al-Hafizh Az-Zamlakany, Al-Hafidh Adz-Dzahabi dan para imam
ulama lain.

Al-Hafizh Al-Mizzy mengatakan: “Aku belum pernah melihat orang
seperti Ibnu Taimiyah ….. dan belum pernah kulihat ada orang yang lebih
berilmu terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah shallahu’alaihi wa
sallam serta lebih ittiba’ dibandingkan beliau.”
Al-Qadhi Abu Al-Fath bin Daqiq Al-Ied mengatakan: “Setelah aku
berkumpul dengannya, kulihat beliau adalah seseorang yang semua ilmu
ada di depan matanya, kapan saja beliau menginginkannya, beliau tinggal
mengambilnya, terserah beliau. Dan aku pernah berkata kepadanya: “Aku
tidak pernah menyangka akan tercipta manasia seperti anda.”

Al-Qadli Ibnu Al-Hariry mengatakan: “Kalau Ibnu Taimiyah bukah
Syaikhul Islam, lalu siapa dia ini ?” Syaikh Ahli nahwu, Abu Hayyan
An-Nahwi, setelah beliau berkumpul dengan Ibnu Taimiyah berkata: “Belum
pernah sepasang mataku melihat orang seperti dia …..” Kemudian melalui
bait-bait syairnya, beliau banyak memberikan pujian kepadanya.
Penguasaan Ibnu Taimiyah dalam beberapa ilmu sangat sempurna, yakni
dalam tafsir, aqidah, hadits, fiqh, bahasa arab dan berbagai cabang
ilmu pengetahuan Islam lainnya, hingga beliau melampaui kemampuan para
ulama zamannya. Al-‘Allamah Kamaluddin bin Az-Zamlakany (wafat th. 727
H) pernah berkata: “Apakah ia ditanya tentang suatu bidang ilmu, maka
siapa pun yang mendengar atau melihat (jawabannya) akan menyangka bahwa
dia seolah-olah hanya membidangi ilmu itu, orang pun akan yakin bahwa
tidak ada seorangpun yang bisa menandinginya”. Para Fuqaha dari
berbagai kalangan, jika duduk bersamanya pasti mereka akan mengambil
pelajaran bermanfaat bagi kelengkapan madzhab-madzhab mereka yang
sebelumnya belum pernah diketahui. Belum pernah terjadi, ia bisa
dipatahkan hujahnya. Beliau tidak pernah berkata tentang suatu cabang
ilmu, baik ilmu syariat atau ilmu lain, melainkan dari masing-masing
ahli ilmu itu pasti terhenyak. Beliau mempunyai goresan tinta indah,
ungkapan-ungkapan, susunan, pembagian kata dan penjelasannya sangat
bagus dalam penyusunan buku-buku.”
Imam Adz-Dzahabi rahimahullah (wafat th. 748 H) juga berkata: “Dia
adalah lambang kecerdasan dan kecepatan memahami, paling hebat
pemahamannya terhadap Al-Kitab was-Sunnah serta perbedaan pendapat, dan
lautan dalil naqli. Pada zamannya, beliau adalah satu-satunya baik
dalam hal ilmu, zuhud, keberanian, kemurahan, amar ma’ruf, nahi
mungkar, dan banyaknya buku-buku yang disusun dan amat menguasai hadits
dan fiqh.

Pada umurnya yang ke tujuh belas beliau sudah siap mengajar dan
berfatwa, amat menonjol dalam bidang tafsir, ilmu ushul dan semua
ilmu-ilmu lain, baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya, detailnya
dan ketelitiannya. Pada sisi lain Adz-Dzahabi mengatakan: “Dia
mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai rijal (mata rantai sanad),
Al-Jarhu wat Ta’dil, Thabaqah-Thabaqah sanad, pengetahuan ilmu-ilmu
hadits antara shahih dan dhaif, hafal matan-matan hadits yang
menyendiri padanya ….. Maka tidak seorangpun pada waktu itu yang bisa
menyamai atau mendekati tingkatannya ….. Adz-Dzahabi berkata lagi,
bahwa: “Setiap hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyah, maka itu
bukanlah hadist.
Demikian antara lain beberapa pujian ulama kepada ibnu Taimiyyah

Sejarah telah mencatat bahwa bukan saja Ibnu Taimiyah sebagai da’i yang tabah,
liat, wara’, zuhud dan ahli ibadah, tetapi beliau juga seorang pemberani yang
ahli berkuda. Beliau adalah pembela tiap jengkal tanah umat Islam dari
kedzaliman musuh dengan pedannya, seperti halnya beliau adalah pembela aqidah
umat dengan lidah dan penanya.

Dengan berani Ibnu Taimiyah berteriak memberikan komando kepada umat Islam untuk
bangkit melawan serbuan tentara Tartar
ketika menyerang Syam dan sekitarnya. Beliau sendiri bergabung dengan
mereka dalam kancah pertempuran. Sampai ada salah seorang amir yang
mempunyai diin yang baik dan benar, memberikan kesaksiannya: “……
tiba-tiba (ditengah kancah pertempuran) terlihat dia bersama saudaranya
berteriak keras memberikan komando untuk menyerbu dan memberikan
peringatan keras supaya tidak lari …” Akhirnya dengan izin Allah
Ta’ala, pasukan Tartar berhasil dihancurkan, maka selamatlah negeri
Syam, Palestina, Mesir dan Hijaz.
Tetapi karena ketegaran, keberanian dan kelantangan
beliau dalam mengajak kepada al-haq, akhirnya justru membakar
kedengkian serta kebencian para penguasa, para ulama dan orang-orang
yang tidak senang kepada beliau. Kaum munafiqun dan kaum lacut kemudian
meniupkan racun-racun fitnah hingga karenanya beliau harus mengalami
berbagai tekanan di pejara, dibuang, diasingkan dan disiksa.

KEHIDUPAN PENJARA

Hembusan-hembusan fitnah yang ditiupkan kaum munafiqin serta
antek-anteknya yang mengakibatkan beliau mengalami tekanan berat dalam
berbagai penjara, justru dihadapi dengan tabah, tenang dan gembira.
Terakhir beliau harus masuk ke penjara Qal’ah di Dimasyq. Dan beliau
berkata: “Sesungguhnya aku menunggu saat seperti ini, karena di
dalamnya terdapat kebaikan besar.”

Dalam syairnya yang terkenal beliau juga berkata: “Apakah yang diperbuat musuh
padaku !!!! Aku, taman dan dikebunku ada dalam dadaku Kemanapun ku pergi, ia
selalu bersamaku dan tiada pernah tinggalkan aku. Aku, terpenjaraku adalah
khalwat Kematianku adalah mati syahid Terusirku dari negeriku adalah rekreasi.
Beliau pernah berkata dalam penjara: “ Orang dipenjara
ialah orang yang terpenjara hatinya dari Rabbnya, orang yang tertawan
ialah orang yang ditawan orang oleh hawa nafsunya.”
Ternyata penjara baginya tidak menghalangi kejernihan fitrah
islahiyah-nya, tidak menghalanginya untuk berdakwah dan menulis
buku-buku tentang Aqidah, Tafsir dan kitab-kitab bantahan terhadap
ahli-ahli bid’ah.

Pengagum-pengagum beliau diluar penjara semakin banyak. Sementara di
dalam penjara, banyak penghuninya yang menjadi murid beliau,
diajarkannya oleh beliau agar mereka iltizam kepada syari’at Allah,
selalu beristighfar, tasbih, berdoa dan melakukan amalan-amalan shahih.
Sehingga suasana penjara menjadi ramai dengan suasana beribadah kepada
Allah. Bahkan dikisahkan banyak penghuni penjara yang sudah mendapat
hak bebas, ingin tetap tinggal di penjara bersamanya. Akhirnya penjara
menjadi penuh dengan orang-orang yang mengaji.

Tetapi kenyataan ini menjadikan musuh-musuh beliau dari kalangan
munafiqin serta ahlul bid’ah semakin dengki dan marah. Maka mereka
terus berupaya agar penguasa memindahkan beliau dari satu penjara ke
penjara yang lain. Tetapi inipun menjadikan beliau semakin terkenal.
Pada akhirnya mereka menuntut kepada pemerintah agar beliau dibunuh,
tetapi pemerintah tidak mendengar tuntutan mereka. Pemerintah hanya
mengeluarkan surat keputusan untuk merampas semua peralatan tulis,
tinta dan kertas-kertas dari tangan Ibnu Taimiyah.

Namun beliau tetap berusaha menulis di tempat-tempat yang
memungkinkan dengan arang. Beliau tulis surat-surat dan buku-buku
dengan arang kepada sahabat dan murid-muridnya. Semua itu menunjukkan
betapa hebatnya tantangan yang dihadapi, sampai kebebasan berfikir dan
menulis pun dibatasi. Ini sekaligus menunjukkan betapa sabar dan
tabahnya beliau. Semoga Allah merahmati, meridhai dan memasukkan Ibnu
Taimiyah dan kita sekalian ke dalam surganya.

MURID-MURID IBNU TAIMIYYAH

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dikenal memiliki banyak murid dan orang yang menimba ilmu darinya.
Di antaranya yang paling terkemuka adalah :
1. Al-Hafizh Ibnul Qayyim
Al-Jauziyah
2. Ibnu Abdul Hadi
3. Al-Hafizh Ibnu Katsir
4. Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali, dan lain-lain

KARYA-KARYA IBNU TAIMIYYAH

Kitab karya Ibnu Taimiyyah memiliki beberapa cirri yang menonjol, meskipun telah berumur beberapa abad dan ditempa oleh berbagai perkembangan dalam dunia ilmu dan pola pikir, kitab-kitab tersebut masih senantiasa berpengaruh kuat dari generasi ke generasi.  Setiap orang yang membaca kitab-kitab Ibnu Taimiyyah akan memiliki kesan bahwa penulisnya adalah seorang yang memahami tujuan-tujuan syariat dan memiliki ruh agama. Di samping itu, kitab-kitabnya terasa hidep,
cukup padat dan berbobot, serta selalu tampil dengan bahasa yang enak, tegas, indah dan secara tidak sengaja berbau retirik.  Para penulis mengakui keindahan serta bobot tulisan-tulisan Ibnu Taimiyyah.

Al-Hafizh Abu Hafesh berkata : ” Ia akan mengalir deras bagai banjir dan bergelombang bagai
lautan…” (Al-Kawakib Ad-Durriyyah, hal.155)
Kitab-kitab beliau di antaranya :
1. Minhajus Sunnah
2. Al-Jawab Ash-Shahih Liman Baddala Dina Al-Masih
3. Kitabun Nubuwat
4. Ar-Raddu ‘Ala Al-Manthiqiyyin
5. Iqtidhau Ash-Shirathi Al-Mustaqim
6. Majmu’ Fatawa
7. Risalatul Qiyas
8. Minhajul Wushul Ila ‘Ilmil Ushul
9. Syarhu Al-Ashbihani war Risalah Al-Humuwiyyah
10. At-Tamiriyyah
11. Al-Wasithiyyah
12. Al-Kailaniyyah
13. Al-Baghdadiyyah
14. Al-Azhariyyah
Dan lain-lain

WAFATNYA

Beliau wafatnya di dalam penjara Qal’ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang
muridnya yang menonjol, Al-‘Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah.

Beliau berada di penjara ini selamaa dua tahun tiga bulan dan beberapa
hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih. Selama dalam penjara beliau
selalu beribadah, berdzikir, tahajjud dan membaca Al-Qur’an.
Dikisahkan, dalam tiah harinya ia baca tiga juz. Selama itu pula beliau
sempat menghatamkan Al-Qur’an delapan puluh atau delapan puluh satu
kali.

Perlu dicatat bahwa selama beliau dalam penjara, tidak pernah mau menerima
pemberian apa pun dari penguasa. Jenazah beliau dishalatkan di masjid Jami’Bani
Umayah sesudah shalat
Zhuhur. Semua penduduk Dimasyq (yang mampu) hadir untuk menshalatkan
jenazahnya, termasuk para Umara’, Ulama, tentara dan sebagainya, hingga
kota Dimasyq menjadi libur total hari itu. Bahkan semua penduduk
Dimasyq (Damaskus) tua, muda, laki, perempuan, anak-anak keluar untuk
menghormati kepergian beliau.

Seorang saksi mata pernah berkata: “Menurut yang aku ketahui tidak ada seorang pun yang ketinggalan, kecuali tiga orang musuh utamanya. Ketiga orang ini pergi menyembunyikan diri karena takut dikeroyok masa. “Bahkan menurut ahli sejarah, belum pernah terjadi jenazah yang dishalatkan serta dihormati oleh orang sebanyak itu melainkan Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad bin Hambal.

Beliau wafat pada tanggal 20 Dzul Hijjah th. 728 H, dan dikuburkan pada waktu Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam Syarafuddin. Semoga Allah merahmati Ibnu Taimiyah, tokoh Salaf, da’i, mujahidd, pembasmi bid’ah dan pemusnah musuh. Wallahu a’lam.

[Disadur dan diedit ulang secara bebas dari Kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, karya Abul Hasan Ali An-Nadwi, Penerjemah Drs. H.M. Qadirun Nur, Penerbit CV. Pustaka Mantiq, cetakan pertama Oktober 1995]

Perbedaan-Ibnu-Taimiyah-dan-Wahabi

Pengaruh Ibnu Taimiyah (pada mulanya memang) hanya terbatas pada murid-murid yang terdekat dan tidak meluas menjadi suatu gerakan. Akan tetapi, dalam jangka panjang, ia meresap ke dalam tubuh intelegensia keagamaan dan pada abad ke-12 H/18 M. Gerakan Wahabilah yang merupakan satu-satunya manifestasi, atau manifestasi yang paling terorganisir, dari pemikiran-pemikirannya.

Pada mulanya memang “Gerakan Wahabilah yang menyebarkan ajaran Ibnu Taimiyah ke seluruh dunia Islam,” tetapi kemudian “pada abad ke-19, … gerakan Sanusi di Libia dan Cad (serta) … ‘Padri’ di Sumatera Barat semuanya mencerminkan program Ibnu Taimiyah yang diterima lewat para Wahhabiyyun.”

Itu harus ditafsirkan bahwa Ibnu Taimiyah identik dengan kaum Wahabi, sebab seperti dinyatakan M. Amin Rais, “walaupun dipengaruhi oleh pikiran-pikiran reformatif Ibnu Taimiyah, namun gerakan Wahabi tidak sepenuhnya merupakan duplikat pikiran-pikiran Ibnu Taimiyah.” Paling sedikit terdapat dua macam perbedaan antara sikap Ibnu Taimiyah dengan ciri khas gerakan Wahabi.

Pertama, jika Taimiyah menyerang sufisme, maka serangannya tidak bersifat frontal berhubung ada segi-segi sufisme yang diakomodasi oleh Ibnu Taimiyah. Sebaliknya, gerakan Wahabiah menyerang sufisme tanpa ampun, sekalipun harus kita akui bahwa berkat jasa kamu Wahabilah pembabatan bid’ah, khurafat, dann takhayul yang merajalela di dunia Islam pada masa lalu berhasil secara mengesankan. Perbedaan kedua adalah anti rasionalisme Wahabiah yang terlampau berlebihan. Ibnu Taimiyah juga melakukan kritik tajam terhadap rasionalisme, akan tetapi kritiknya itu tidak berakibat memojokkan penalaran rasional terhadap usaha perbaikan dalam berbagai dimensi kehidupan kaum muslimin.

Selain yang telah disebutkan, sesungguhnya masih ada beberapa perbedaan antara Wahabi dengan Ibnu Taimiyah. Tindakan-tindakan kekerasan, terutama melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah, seperti pernah dilakukan gerakan Wahabi terhadap pemerintahan Turki Usmani sekitar tahun 1813-1815, merupakan tindakan yang bertolakbelakang dengan dasar-dasar pemikiran Ibnu Taimiyah yang tidak membenarkan melakukan tindakan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah betapun lalim dan rusaknya pemerintahan yang sah tersebut. Namun, bahwa gerakan Wahabi memiliki peranan amat penting bagi tumbuh subur dan berkembangnya gerakan tajdid dan ijtihad Ibnu Taimiyah ke berbagai dunia Islam, termasuk di dalamnya sebagian umat Islam Indonesia, agaknya memang telah diakui oleh para ahli sejaraj pergerakan Islam.

*Dikutip dari Buku “Ijtihad Ibnu Taimiyah Dalam Bidang Fikih Islam”, karangan Muhammad Amin, Penerbit INIS, Jakarta, Tahun 1991.

Peringatan Nabi SAW Tentang Munculnya Wahabi

Hadits-hadits yang memberitakan akan datangnya Faham Wahabi.

Sungguh Nabi s a w telah memberitakan tentang golongan Khawarij ini dalam beberapa hadits beliau, maka hadits-hadits seperti itu adalah merupakan tanda kenabian beliau s a w, karena termasuk memberitakan sesuatu yang masih ghaib (belum terjadi). Seluruh hadits-hadits ini adalah shahih, sebagaimana terdapat dalam kitab shahih BUKHARI & MUSLIM dan sebagian yang lain terdapat dalam selain kedua kitab tsb. Hadits-hadits itu antara lain:

1. Fitnah itu datangnya dari sini, fitnah itu datangnya dari arah sini, sambil menunjuk ke arah timur (Najed-pen ).

2. Akan muncul segolongan manusia dari arah timur, mereka membaca Al Qur’an tetapi tidak bisa membersihkannya, mereka keluar dari agamanya seperti anak panah yang keluar dari busurnya dan mereka tidak akan kembali ke agama hingga anak panah itu bisa kembali ketempatnya (busurnya), tanda-tanda mereka bercukur kepala (plontos – pen).

3. Akan ada dalam ummatku perselisihan dan perpecahan kaum yang indah perkataannya namun jelek perbuatannya. Mereka membaca Al Qur’an, tetapi keimanan mereka tidak sampai mengobatinya, mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari busurnya, yang tidak akan kembali seperti tidak kembalinya anak panah ketempatnya. Mereka adalah sejelek-jelek makhluk, maka berbahagialah orang yang membunuh mereka atau dibunuh mereka. Mereka menyeru kepada kitab Allah, tetapi sedikitpun ajaran Allah tidak terdapat pada diri mereka. Orang yang membunuh mereka adalah lebih utama menurut Allah. Tanda-tanda mereka adalah bercukur kepala (plontos – pen).

4. Di Akhir zaman nanti akan keluar segolongan kaum yang pandai bicara tetapi bodoh tingkah lakunya, mereka berbicara dengan sabda Rasulullah dan membaca Al Qur’an namun tidak sampai melewati kerongkongan mereka, meraka keluar dari agama seperti anak panah keluar dari busurnya, maka apabila kamu bertemu dengan mereka bunuhlah, karena membunuh mereka adalah mendapat pahala disisi Allah pada hari kiamat.

5. Akan keluar dari arah timur segolongan manusia yang membaca Al Qur’an namun tidak sampai mengobati mereka, mereka keluar dari agama seperti anak panah keluar dari busurnya, mereka tidak akan bisa kembali seperti anak panah yang tak akan kembali ketempatnya, tanda-tanda mereka ialah bercukur kepala (plontos – pen).

6. Kepala kafir itu seperti (orang yang datang dari) arah timur, sedang kemegahan dan kesombongan (nya) adalah (seperti kemegahan dan kesombongan orang-orang yang) ahli dalam (menunggang) kuda dan onta.

7. Dari arah sini inilah datangnya fitnah, sambil mengisyaratkan ke arah timur (Najed – pen).

8. Hati menjadi kasar, air bah akan muncul disebelah timur dan keimanan di lingkungan penduduk Hijaz (pada saat itu penduduk Hijaz terutama kaum muslimin Makkah dan Madinah adalah orang-orang yang paling gigih melawan Wahabi dari sebelah timur / Najed – pen).

9. (Nabi s a w berdo’a) Ya Allah, berikan kami berkah dalam negeri Syam dan Yaman, para sahabat berkata: Dan dari Najed, wahai Rasulullah, beliau berdo’a: Ya Allah, berikan kami berkah dalam negeri Syam dan Yaman, dan pada yang ketiga kalinya beliau s a w bersabda: Di sana (Najed) akan ada keguncangan fitnah serta disana pula akan muncul tanduk syaitan.

10. Akan keluar dari arah timur segolongan manusia yang membaca Al Qur’an namun tidak sampai membersihkan mereka. Ketika putus dalam satu kurun, maka muncul lagi dalam kurun yang lain, hingga adalah mereka yang terakhir bersama-sama dengan dajjal.

Dalam hadits-hadits tsb dijelaskan, bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur kepala (plontos – pen). Dan ini adalah merupakan nash atau perkataan yang jelas ditujukan kepada kaum khawarijin yang datang dari arah timur, yakni para penganut Ibnu Abdil Wahab, karena dia telah memerintahkan setiap pengikutnya bercukur rambut kepalanya hingga mereka yang mengikut kepadanya tidaklah dibolehkan berpaling dari majelisnya sebelum melakukan perintah tsb (bercukur – plontos). Hal seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya dari aliran-aliran SESAT lainnya. Oleh sebab itu, hadits-hadits tsb jelas ditujukan kepada mereka, sebagaimana apa yang telah dikatakan oleh Sayyid Abdurrahman Al-Ahdal, seorang mufti di Zubaid. Beliau r a berkata: “Tidak usah seseorang menulis suatu buku untuk menolak Ibnu Abdil Wahhab, akan tetapi sudah cukup ditolak oleh hadits-hadits Rasulullah s a w itu sendiri yang telah menegaskan bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur (gundul), karena ahli bid’ah sebelumnya tidaklah pernah berbuat demikian selain mereka.”

Muhammad bin Abdul Wahhab (pendiri Wahabisme – pen) sungguh pernah juga memerintah kaum wanitanya untuk bercukur (gundul – pen). Pada suatu saat ada seorang wanita masuk agamanya dan memperbarui Islamnya sesuai dengan doktrin yang dia masukkan, lalu dia memerintahkan wanita itu bercukur kepala (gundul pacul – pen). Kemudian wanita itu menjawab: “anda memerintahkan kaum lelaki bercukur kepala, seandainya anda memerintahkan mereka bercukur jenggot mereka maka boleh anda memerintahkan kaum wanita mencukur rambut kepalanya, karena rambut kaum wanita adalah kedudukannya sama dengan jenggot kaum lelaki”.Maka dia kebingungan dan tidak bisa berkata apa-apa terhadap wanita itu. Lalu kenapa dia melakukan hal itu, tiada lain adalah untuk membenarkan sabda Nabi s a w atas dirinya dan para pengikutnya, yang dijelaskan bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur (gundul/plontos). Jadi apa yang dia lalukan itu semata-mata membuktikan kalau Nabi s a w itu benar dalam segala apa yang disabdakan.

Adapun mengenai sabda Nabi s a w yang mengisyaratkan bahwa akan ada dari arah timur (Najed – pen) keguncangan dan dua tanduk syaithon, maka sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dua tanduk syaithon itu tiada lain adalah Musailamah Al-Kadzdzab dan Muhammad Ibn Abdil Wahhab.Sebagian ahli sejarah menyebutkan peperangan BANI HANIFAH, mengatakan: Di akhir zaman nanti akan keluar di negeri Musailamah seorang lelaki yang menyerukan agama selain agama Islam.

Ada beberapa hadits yang didalamnya menyebutkan akan timbulnya fitnah, diantaranya adalah:

1. Darinya (negeri Musailamah dan Muhammad bin Abdul Wahhab) fitnah yang besar yang ada dalam ummatku, tidak satupun dari rumah orang Arab yang tertinggal kecuali dimasukinya, peperangan bagaikan dalam api hingga sampai keseluruh Arab, sedang memeranginya dengan lisan adalah lebih sangat (bermanfaat – pen) daripada menjatuhkan pedang.

2. Akan ada fitnah yang menulikan, membisukan dan membutakan, yakni membutakan penglihatan manusia didalamnya sehingga mereka tidak melihat jalan keluar, dan menulikan dari pendengaran perkara hak, barang siapa meminta dimuliakan kepadanya maka akan dimuliakan.

3. Akan lahir syaithon dari Najed, Jazirah Arab akan goncang lantaran fitnahnya.Al-Allamah Sayyid Alwi bin Ahmad bin Hasan bin Al-Quthub As-Sayyid Abdullah Al-Haddad Ba’Alawi didalam kitabnya :”Jalaa’uzh zhalaam fir rarrdil Ladzii adhallal ‘awaam” sebuah kitab yang agung didalam menolak faham wahabi, beliau r a menyebutkan didalam kitabnya sejumlah hadits, diantaranya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Abbas bin Abdul Muthalib r a sbb :“Akan keluar di abad kedua belas nanti dilembah BANI HANIFAH seorang lelaki, tingkahnya seperti pemberontak, senantiasa menjilat (kepada penguasa Sa’ud – pen) dan menjatuhkan dalam kesusahan, pada zaman dia hidup banyak kacau balau, menghalalkan harta manusia, diambil untuk berdagang dan menghalalkan darah manusia, dibunuhnya manusia untuk kesombongan, dan ini adalah fitnah, didalamnya orang-orang yang hina dan rendah menjadi mulia (yaitu para petualang & penyamun digurun pasir – pen), hawa nafsu mereka saling berlomba tak ubahnya seperti berlombanya anjing dengan pemiliknya”. Kemudian didalam kitab tersebut Sayyid Alwi menyebutkan bahwa orang yang tertipu ini tiada lain ialah Muhammad bin Abdul Wahhab dari Tamim. Oleh sebab itu hadits tersebut mengandung suatu pengertian bahwa Ibnu Abdul Wahhab adalah orang yang datang dari ujung Tamim, dialah yang diterangkan hadits Nabi s a w yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri r a bahwa Nabi s a w bersabda :“Sesungguhnya diujung negeri ini ada kelompok kaum yang membaca Al Qur’an, namun tidak sampai melewati kerongkongan mereka, mereka keluar dari agama seperti anak panah keluar dari busurnya, mereka membunuh pemeluk Islam dan mengundang berhala-berhala (Amerika, Inggeris dan kaum Zionis baik untuk penggalian berhala purbakala atau untuk kepentingan yang lain – pen), seandainya aku menjumpai mereka tentulah aku akan membunuh mereka seperti dibunuhnya kaum ‘Ad.Dan ternyata kaum Khawarij ini telah membunuh kaum muslimin dan mengundang ahli berhala (Amerika, Zionis dan sekutunya – pen). Ketika Imam Ali bin Abi Thalib kw ditebas oleh kaum khawarij, ada seorang lelaki berkata: “Segala Puji bagi Allah yang telah melahirkan mereka dan menghindarkan kita dari mereka”. Kemudian Imam Ali berkata: “Jangan begitu, demi Tuhan yang diriku berada didalam Kekuasaan-Nya, sungguh diantara mereka ada seorang yang dalam tulang rusuknya para lelaki yang tidak dikandung oleh perempuan, dan yang terakhir diantara mereka adalah bersama dajjal”.

Ada hadits yang diriwayatkan oleh Abubakar didalamnya disebutkan BANI HANIFAH, kaum Musailamah Al-Kadzdzab, Beliau s a w berkata: “Sesungguhnya lembah pegunungan mereka senantiasa menjadi lembah fitnah hingga akhir masa dan senantiasa terdapat fitnah dari para pembohong mereka sampai hari kiamat”.Dalam riwayat lain disebutkan: “Celaka-lah Yamamah, celaka karena tidak ada pemisah baginya”

Di dalam kitab Misykatul Mashabih terdapat suatu hadits berbunyi sbb: “Di akhir zaman nanti akan ada suatu kaum yang akan membicarakan kamu tentang apa-apa yang belum pernah kamu mendengarnya, begitu juga (belum pernah) bapak-bapakmu (mendengarnya), maka berhati-hatilah jangan sampai menyesatkan dan memfitnahmu”.Allah SWT telah menurunkan ayat Al Qur’an berkaitan dengan BANI TAMIM sbb:“Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar (mu) kebanyakan mereka tidak mengerti”. (QS. 49 Al-Hujurat: 4).

Juga Allah SWT menurunkan ayat yang khitabnya ditujukan kepada mereka sbb: “Jangan kamu semua mengangkat suaramu diatas suara Nabi”. (QS. 49 Al-Hujurat 2)Sayyid Alwi Al-Haddad mengatakan: “Sebenarnya ayat yang diturunkan dalam kasus BANI HANIFAH dan mencela BANI TAMIM dan WA”IL itu banyak sekali, akan tetapi cukuplah sebagai bukti buat anda bahwa kebanyakan orang-orang Khawarij itu dari mereka, demikian pula Muhammad bin Abdul Wahhab dan tokoh pemecah belah ummat, Abdul Aziz bin Muhammad bin Su’ud (pendiri kerajaan Saudi Arabia – pen) adalah dari mereka”.

Diriwayatkan bahwa Nabi s a w bersabda: “Pada permulaan kerasulanku aku senantiasa menampakkan diriku dihadapan kabilah-kabilah pada setiap musim dan tidak seorangpun yang menjawab dengan jawaban yang lebih buruk dan lebih jelek daripada penolakan BANI HANIFAH”. Sayyid Alwi Al-Haddad mengatakan: “Ketika aku sampai di Tha’if untuk ziarah ke Abdullah Ibnu Abbas r a, aku bertemu dengan Al-Allamah Syeikh Thahir Asy-Syafi’i, dia memberi tahukan kepadaku bahwa dia telah menulis kitab guna menolak faham wahabi ini dengan judul: “AL-INTISHARU LIL AULIYA’IL ABRAR”. Dia berkata kepadaku: “Mudah-mudahan lantaran kitab ini Allah memberi mafa’at terhadap orang-orang yang hatinya belum kemasukan bid’ah yang datang dari Najed (faham Wahabi), adapun orang yang hatinya sudah kemasukan maka tak dapat diharap lagi kebahagiannya, karena ada sebuah hadits riwayat Bukhari: ‘Mereka keluar dari agama dan tak akan kembali’. Sedang yang dinukil sebagian ulama yang isinya mengatakan bahwa dia (Muhammad bin Abdul Wahhab) adalah semata-mata meluruskan perbuatan orang-orang Najed, berupa anjuran terhadap orang-orang Baduy untuk menunaikan sholat jama’ah, meninggalkan perkara-perkara keji dan merampok ditengah jalan, serta menyeru kemurnian tauhid, itu semua adalah tidak benar”.

Memang nampaknya dari luar dia telah meluruskan perbuatan manusia, namun kalau ditengok kekejian-kekejiannya dan kemungkaran-kemungkaran yang dilakukannya berupa:

1. Mengkafirkan ummat muslimin sebelumnya selama 600 tahun lebih (yakni 600 tahun sebelum masa Ibnu Taimiyah dan sampai masa Wahabi, jadi sepanjang 12 abad lebih- pen).

2. Membakar kitab-kitab yang relatif amat banyak (termasuk Ihya’ karya Al-Ghazali)3. Membunuh para ulama, orang-orang tertentu & masyarakat umum.

4. Menghalalkan darah dan harta mereka (karena dianggap kafir – pen)

5. Melahirkan jisim bagi Dzat Allah SWT.

6. Mengurangi keagungan Nabi Muhammad s a w, para Nabi & Rasul a s serta para Wali r a

7. Membongkar makam mereka dan menjadikan sebagai tempat membuang kotoran (toilet).

8. Melarang orang membaca kitab “DALAA’ILUL KHAIRAT”, kitab Ratib dan dzikir-dzikir, kitab-kitab maulid Dziba’.

9. Melarang membaca Shalawat Nabi s a w diatas menara-menara setelah melakukan adzan, bahkan telah membunuh siapa yang telah melakukannya.

10. Menyuap orang-orang bodoh dengan doktrin pengakuan dirinya sebagai nabi dan memberi pengertian kepada mereka tentang kenabian dirinya dengan tutur kata yang manis.

11. Melarang orang-orang berdo’a setelah selesai menunaikan sholat.

12. Membagi zakat menurut kemauan hawa nafsunya sendiri.

13. Dia mempunyai i’tikad bahwa Islam itu sempit.

14. Semua makhluk adalah syirik.

15. Dalam setiap khutbah dia berkata bahwa bertawasul dengan para Nabi, Malaikat dan para Wali adalah kufur.

16. Dia mengkafirkan orang yang mengucapkan lafadz: “maulana atau sayyidina” terhadap seseorang tanpa memperhatikan firman Allah yang berbunyi: “Wasayyidan” dan sabda Nabi s a w kepada kaum Anshar: “Quumuu li sayyidikum”, kata sayyid didalam hadits ini adalah shahabat Sa’ad bin Mu’adz.

17. Dia juga melarang orang ziarah ke makam Nabi s a w dan menganggap Nabi s a w itu seperti orang mati lainnya.

18. Mengingkari ilmu Nahwu, lughat dan fiqih, bahkan melarang orang untuk mempelajarinya karena ilmu-ilmu tsb dianggap bid’ah.

Dari ucapan dan perbuatan-perbuatannya itu jelas bagi kita untuk menyakini bahwa dia telah keluar dari kaidah-kaidah Islamiyah, karena dia telah menghalalkan harta kaum muslimin yang sudah menjadi ijma’ para ulama salafushsholeh tentang keharamannya atas dasar apa yang telah diketahui dari agama, mengurangi keagungan para Nabi dan Rasul, para wali dan orang-orang sholeh, dimana menurut ijma’ ulama’ keempat mazhab Ahlissunnah wal jama’ah / mazhab Salafushsholeh (yang asli – pen) bahwa mengurangi keagungan seperti itu dengan sengaja adalah kufur, demikian kata sayyid Alwi Al-Haddad”.

Dia berusia 95 tahun ketika mati dengan mempunyai beberapa orang anak yaitu Abdullah, Hasan, Husain dan Ali mereka disebut dengan AULADUSY SYEIKH atau PUTRA-PUTRA MAHA GURU AGUNG (menurut terminologi yang mereka punyai ini adalah bentuk pengkultusan-individu, mengurangi kemuliaan para Nabi dan Rasul tapi memuliakan dirinya sendiri – dimana kejujurannya? – pen). Mereka ini mempunyai anak cucu yang banyak dan kesemuanya itu dinamakan AULADUSY SYEIKH sampai sekarang.

Catatan: Kalau melihat 18 point doktrin Wahabi diatas maka jelaslah bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang preman dan petualang akidah serta sama sekali tidak dapat digolongkan bermazhab Ahlissunnah Wal Jama’ah atau mazhab Salafush-Sholeh.

Ada lagi doktrin yang tidak disebutkan oleh penulis diatas yaitu:

1. Melarang penggunaan alat pengeras untuk adzan atau dakwa atau apapun.

2. Melarang penggunaan telpon.

3. Melarang mendengarkan radio dan TV

4. Melarang melagukan adzan.

5. Melarang melagukan / membaca qasidah

6. Melarang melagukan Al Qur’an seperti para qori’ dan qari’ah yakni yang seperti dilagukan oleh para fuqoha

7. Melarang pembacaan Burdah karya imam Busiri rahimahullah

8. Melarang mengaji “sifat 20″ sebagai yang tertulis dalam kitab Kifatayul Awam, Matan Jauharatut Tauhid, Sanusi dan kitab-kitab Tauhid Asy’ari / kitab-kitab Ahlussunnah Wal Jama’ah, karena tauhid kaum Wahabi berkisar Tauhid “Rububiyah & uluhiyah” saja.

9. Imam Masjidil Haram hanya seorang yang ditunjuk oleh institusi kaum Wahabi saja, sedang sebelum Wahabi datang imam masjidil Haram ada 4 yaitu terdiri dari ke 4 madzhab Ahlussunnah yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Inilah, apakah benar kaum Wahabi sebagai madzhab Ahlissunnah yang melarang madzhab Ahlussunnah?. Tepatnya, Wahabi adalah: “MADZHAB YANG MENGHARAMKAN MADZHAB”.

10. Melarang perayaan Maulid Nabi pada setiap bulan Rabiul Awal.

11. Melarang perayaan Isra’ Mi’raj yang biasa dilaksanakan setiap malam 27 Rajab, jadi peraktis tidak ada hari-hari besar Islam, jadi agama apa ini kok kering banget?

12. Semua tarekat sufi dilarang tanpa kecuali.

13. Membaca dzikir “La Ilaaha Illallah” bersama-sama setelah shalat dilarang

14. Imam dilarang membaca Bismillah pada permulaan Fatihah dan melarang pembacaan Qunut pada shalat subuh.

Doktrin-doktrin Wahabi ini tidak lain berasal dari gurunya Muhammad bin Abdul Wahhab yakni seorang orientalis Inggris bernama Hempher yang bekerja sebagai mata-mata Inggris di Timur Tengah guna mengadu domba kaum muslimin. Imprealisme / Kolonialisme Inggris memang telah berhasil mendirikan sekte-sekte bahkan agama baru ditengah ummat Islam seperti Ahmadiyah dan Baha’i. Jadi Wahabiisme ini sebenarnya bagian dari program kerja kaum kolonial.

Mungkin pembaca menjadi tercenggang kalau melihat nama-nama putra-putra Muhammad bin Abdul Wahhab yaitu Abdullah, Hasan, Husain dan Ali dimana adalah nama-nama yang tekait dekat dengan nama tokoh-tokoh ahlilbait, hal ini tidak lain putra-putranya itu lahir sewaktu dia belum menjadi rusak karena fahamnya itu dan boleh jadi nama-nama itu diberikan oleh ayah dari Muhammad bin Abdul Wahhab yang adalah seorang sunni yang baik dan sangat menentang putranya setelah putranya rusak fahamnya dan demikian pula saudara kandungnya yang bernama Sulaiman bin Abdul Wahhab sangat menentangnya dan menulis buku tentangan kepadanya yang berjudul :”ASH-SHAWA’IQUL ILAHIYAH FIRRADDI ALA WAHABIYAH”. Nama-nama itu diberikan oleh ayahnya tidak lain untuk bertabaruk kepada para tokoh suci dari para ahlilbait Nabi s a w. Kemudian nama-nama itu tidak muncul lagi dalam nama-nama orang yang sekarang disebut-sebut atau digelari Auladusy Syaikh tsb.

Diantara kekejaman dan kejahilan kaum Wahabi adalah meruntuhkan kubah-kubah diatas makam sahabat-sahabat Nabi s a w yang berada di Mu’ala (Makkah), di Baqi’ & Uhud (Madinah) semuanya diruntuhkan dan diratakan dengan tanah dengan mengunakan dinamit penghancur. Demikian juga kubah diatas tanah dimana Nabi s aw dilahirkan, yaitu di Suq al Leil di ratakan dengan tanah dengan menggunakan dinamit dan dijadikan tempat parkir onta. Saat ini karena gencarnya desakan kaum muslimin international maka kabarnya dibangun perpustakaan. Benar-benar kaum Wahabi itu golongan paling jahil diatas muka bumi ini. Tidak pernah menghargai peninggalan sejarah dan menghormati nilai-nilai luhur Islam Semula Alkubbatul Khadra atau kubah hijau dimana Nabi Muhammad s a w dimakamkan juga akan didinamit dan diratakan dengan tanah tapi karena ancaman international maka orang-orang biadab itu menjadi takut dan mengurungkan niatnya.

Semula seluruh yang menjadi manasik haji itu akan dimodifikasi termasuk maqom Ibrahim akan digeser tapi karena banyak yang menentang termasuk Sayyid Almutawalli Syakrawi dari Mesir maka diurungkannya.

Setelah saya memposting tentang Wahabi ini seorang ikhwan mengirim email ke saya melalui Japri dan mengatakan kepada saya bahwa pengkatagorian Wahabi sebagai kelompok Khawarij itu kurang lengkap, karena Wahabi tidak anti Bani Umaiyah bahkan terhadap Yazid bin Muawiyah pun membelanya. Dia memberi difinisi kepada saya bahwa Wahabi adalah gabungan sekte-sekte yang telah menyesatkan ummat Islam, terdiri dari gabungan Khawarij, Bani Umaiyah, Murji’ah, Mujassimah, Musyabbihah dan Hasyawiyah. Teman itu melanjutkan jika anda bertanya kepada kaum Wahabi mana yang lebih kamu cintai kekhalifahan Bani Umaiyah atau Abbasiyah, mereka pasti akan mengatakan lebih mencintai Bani Umaiyah dengan berbagai macam alasan yang dibuat-buat yang pada intinya meskipun Bani Abbas tidak suka juga pada kaum alawi tapi masih ada ikatan yang lebih dekat dibanding Bani Umaiyah, dan Bani Umaiyah lebih dahsyat kebenciannya kepada kaum alawi, itulah alasannya.

Wahai saudaraku yang budiman, waspadalah terhadap gerakan Wahabiyah ini mereka akan melenyapkan semua mazhab baik Sunni (Ahlussunnah Wal Jama’ah) maupun Syi’ah, mereka akan senantiasa mengadu domba kedua mazhab besar. Sekali lagi waspadalah dan waspadalah gerakan ini benar-benar berbahaya dan jika kalian lengah, kalian akan terjengkang dan terkejut kelak. Gerakan ini dimotori oleh juru dakwa – juru dakwa yang radikal dan ekstrim, yang menebarkan kebencian dan permusuhan dimana-mana yang didukung oleh keuangan yang cukup besar (petro-dollar).

Kesukaan mereka menuduh golongan Islam yang tak sejalan dengan mereka dengan tuduhan kafir, syirik dan ahlil bid’ah, itulah ucapan yang didengung-dengungkan disetiap mimbar dan setiap kesempatan, mereka tak pernah mengakui jasa para ulama Islam manapun kecuali kelompok mereka sendiri.

Di negeri kita ini mereka menaruh dendam dan kebencian mendalam kepada para Wali Songo yang menyebarkan dan meng Islam kan penduduk negeri ini. Diantaranya timbulnya fitnah perang padri yang penuh kekejian dan kebiadaban persis seperti ketika Ibnu Sa’ud dan Ibnu Abdul Wahab beserta kaumnya menyerang haramain.

Mereka mengatakan ajaran para wali itu masih tercampur kemusyrikan Hindu dan Budha, padahal para Wali itu jasanya telah meng Islam kan 90 % penduduk negeri ini. Mampukah wahabi-wahabi itu meng Islam kan yang 10 % sisanya? Mempertahankan yang 90 % dari terkapan orang kafir saja tak bakal mampu, apalagi mau menambah 10 % sisanya. Jika bukan karena Rahmat Allah yang mentakdirkan para Wali Songo untuk berdakwa ke negeri kita ini tentu orang-orang yang asal bunyi dan menjadi corong bicara kaum wahabi itu masih berada dalam kepercayaan animisme, penyembah berhala atau masih kafir lainnya (Naudzu Billah min Dzalik).

Klaim Wahabi bahwa mereka penganut As-Salaf, As-Salafushsholeh dan Ahlussunnah wal Jama’ah serta sangat setia pada keteladanan sahabat dan tabi’in adalah omong kosong dan suatu bentuk penyerobotan HAK PATEN SUATU MAZHAB. Mereka bertanggung jawab terhadap hancurnya peninggalan-pininggalan Islam sejak masa Rasul suci Muhammad s a w, masa para sahabatnya r a dan masa-masa setelah itu. Meraka menghancurkan semua nilai-nilai peninggalan luhur Islam dan mendatangkan arkeolog-arkeolog (ahli-ahli purbakala) dari seluruh dunia dengan biaya ratusan juta dollar untuk menggali peninggalan-peninggalan pra Islam baik yang dari kaum jahiliyah maupun sebelumnya dengan dalih obyek wisata dsb. Mereka dengan bangga setelah itu menunjukkan bahwa zaman pra Islam telah menunjukkan kemajuan yang luar biasa, maka jelaslah penghancuran nilai-nilai luhur peninggalan Islam tidak dapat diragukan lagi merupakan pelenyapan bukti sejarah hingga timbul suatu keraguan dikemudian hari.Oleh karena itu janganlah dipercaya kalau mereka mengaku-ngaku sebagai faham yang hanya berpegang pada Al Qur’an dan As-Sunnah serta keteladanan Salafushsholeh apalagi mengaku sebagai GOLONGAN YANG SELAMAT DSB, itu semua omong kosong dan kedok untuk menjual barang dagangan berupa akidah palsu yang disembunyikan. Sejarah hitam mereka dengan membantai ribuan kaum muslimin di Makkah dan Madinah serta daerah lain di wilayah Hijaz (yang sekarang di namakan Saudi, suatu nama bid’ah karena nama negeri Rasulullah s a w diganti dengan nama satu keluarga kerajaan yaitu As-Sa’ud). Yang terbantai itu terdiri dari para ulama-ulama yang sholeh dan alim, anak-anak yang masih balita bahkan dibantai dihadapan ibunya.

dari:http://wildwestwahabi.wordpress.com

Pengertian Wahabi

Orang-orang biasa menuduh “wahabi” kepada setiap orang yang melanggar tradisi, kepercayaan dan bid’ah mereka, sekalipun kepercayaan-kepercayaan mereka itu rusak, bertentangan dengan Al-Quranul Karim dan hadits-hadits shahih. Mereka menentang dakwah kepada tauhid dan enggan berdoa (memohon) hanya kepada Allah semata.Suatu kali, di depan seorang Syaikh penulis membacakan hadits riwayat Ibnu Abbas yang terdapat dalam kitab Al-Arba’in An-Nawawiyah. Hadits ini berbunyi:

“Jika engkau memohon maka mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih)

Penulis sungguh kagum dengan terhadap keterangan Imam Nawawi ketika beliau mengatakan, “Kemudian jia kebutuhan yang dimintanya –menurut tradisi– di luar batas kemampuan manusia, seperti meminta hidayah (petunjuk), ilmu, kesembuhan dari sakit dan kesehatan, maka hal-hal itu (mesti) memintanya hanya kepada Allah semata. Dan jika hal-hal di atas dimintanya kepada makhluk maka itu amat tercela.”Lalu kepada Syaikh tersebut penulis katakan, “Hadits ini berikut keterangannya menegaskan tidak dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah.” Ia lalu menyergah, “Malah sebaliknya, hal itu dibolehkan.”

Penulis lalu bertanya, “Apa dalil anda?” Syaikh itu ternyata marah sambil berkata dengan suara tinggi, “Sesungguhnya bibiku berkata, wahai Syaikh Sa’d” (1) dan Aku bertanya padanya, “Wahai bibiku, apakah Syaikh Sa’d dapat memberi manfaat kepadamu?!” Ia menjawab, “Aku berdoa (meminta) kepadanya, sehingga ia menyampaikannya kepada Allah, lalu Allah menyembuhkanku.”

Lalu penulis berkata, “Sesungguhnya engkau adalah seorang alim. Engkau banyak habiskan umurmu untuk membaca kitab-kitab. Tetapi sungguh mengherankan, engkau justru mengambil aqidah dari bibimu yang bodoh itu.”Ia lalu berkata, “Pola pikirmu adalah pola pikir wahabi. Engkau pergi berumrah lalu datang dengan membawa kitab-kitab wahabi.”

Padahal penulis tidak mengenal sedikitpun tentang wahabi, kecuali sekadar yang penulis dengar dari para Syaikh. Mereka berkata tentang wahabi, “Orang-orang wahabi adalah mereka yang melanggar tradisi orang kebanyakan. Mereka tidak percaya kepada wali dan karamah-karamahnya, tidak mencintai Rasul dan berbagai tuduhan dusta lainnya.”Jika orang-orang wahabi adalah mereka yang percaya hanya kepada pertolongan Allah semata, dan percaya yang menyembuhkan hanyalah Allah, maka aku wajib mengenal wahabi lebih jauh.

Kemudian penulis tanyakan jama’ahnya, sehingga penulis mendapat informasi bahwa pada setiap Kamis sore mereka menyelenggarakan pertemuan untuk mengkaji pelajaran tafsir, hadits, dan fiqh.

Bersama anak-anak penulis dan sebagian pemuda intelektual, penulis mendatangi majelis mereka kami masuk ke sebuah ruangan yang besar. Sejenak kami menanti, sampai tiada berapa lama seorang Syaikh yang sudah berusia masuk ruangan. Beliau memberi salam kepada kami dan menjabat tangan semua hadirin dimulai dari sebelah kanan, lalu beliau duduk di kursi dantak seorang pun berdiri untuknya. Penulis berkata dalam hati, “Ini adalah seorang Syaikh yang tawadhu’ (rendah hati), tidak suka orang berdiri untuknya (dihormati).”Lalu Syaikh membuka pelajaran-pelajaran dengan ucapan, “Sesungguhnya segala puji adalah untuk Allah. Kepada Allah kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan…”, dan selanjutnya hingga selesai, sebagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam biasa membuka khutbah dan pelajarannnya.

Kemudian Syaikh itu memulai bicara dengan menggunakan bahasa Arab. Beliau menyampaikan hadits-hadits seraya menjelaskan derajat shahih-nya dan para perawinya. Setiap kali menyebut nama Nabi, beliau mengucapkan shalawat atasnya. Di akhir pelajaran, beberapa soal tertulis diajukan kepadanya. Beliau menjawab soal-soal itu dengan dalil dari Al-Quranun Karim dan sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berdiskusi dengan hadirin dan tidak menolak setiap penanya. Di akhir pelajaran, beliau berkata, “Segala puji bagi Allah bahwa kita termasuk orang-orang Islam dan salaf.(2) Sebagian orang menuduh kita orang-orang wahabi. Ini termasuk tanaabuzun bil alqab (memanggil dengan panggilan- panggilan yang buruk). Allah melarang kita dari hal itu dengan firman-Nya, “Dan janganlah kamu panggil-mamanggil dengan gelar-gelaran yang buruk.” (Al-Hujurat: 11)

Dahulu, mereka menuduh Imam Syafi’i dengan rafidhah. Beliau lalu membantah mereka dengan mengatakan, “Jika rafidhah (berarti) mencintai keluarga Muhammad. Maka hendaknya jin dan manusia menyaksikan bahwa sesungguhnya aku adalah rafidhah.”

Maka, kita juga membantah orang-orang yang menuduh kita wahabi, dengan ucapan salah seorang penyair, “Jika pengikut Ahmad adalah wahabi. Maka aku berikrar bahwa sesungguhnya aku wahabi.”Ketika pelajaran usai, kami keluar bersama-sama sebagian para pemuda. Kami benar-benar dibuat kagum oleh ilmu dan kerendahan hatinya. Bahkan aku mendengar salah seorang mereka berkata, “Inilah Syaikh yang sesungguhnya!”

A. Pengertian wahabi

Musuh-musuh tauhid memberi gelar wahabi kepada setiap muwahhid (yang mengesakan Allah), nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahab. Jika mereka jujur, mestinya mereka mengatakan Muhammadi nisbat kepada namanya, yaitu Muhammad. Betapa pun begitu, ternyata Allah menghendaki nama wahabi sebagai nisbat kepada Al-Wahhaab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama Allah yang baik (Asmaa’ul Husnaa).

B. Muhammad bin Abdul Wahab

Beliau dilahirkan di kota ‘Uyainah, Nejed pada tahun 1115 H. Hafal Al-Quran sebelum berusia sepuluh tahun. Belajar kepada ayahandanya tentang fiqih Hanbali, belajar hadits dan tafsir kepada para Syaikh dari berbagai negeri, terutama di kota Madinah. Beliau memahami tauhid dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Memelihara kemurnian tauhid dari syirik, khurafat dan bid’ah, sebagaimana banyak ia saksikan di Nejed dan negeri-negeri lainnya. Demikian juga soal menyucikan dan mengkultuskan kubur, suatu hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.

Ia mendengar banyak wanita di negerinya ber-tawassul dengan pohon kurma yang besar. Mereka berkata, “Wahai pohon kurma yang paling agung dan besar, aku menginginkan suami sebelum setahun ini.”Di Hejaz, ia melihat pengkultusan kuburan para shahabat, keluarga Nabi, (ahlul bait), serta kuburan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,hal yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan, kecuali kepada Allah semata.

Di Madinah, Ia mendengar permohonan tolong (istighaatsah) kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, serta berdoa (memohon) kepada selain Allah, hal yang sungguh bertentangan dengan Al-Quran dan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Al-Quran menegaskan,

“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah, sebab jika berbuat (yang demikian itu), sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim.” (Yunus: 106)

Zhalim dalam ayat ini berarti syirik. Suatu kali, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada anak pamannya, Abdullah bin Abbas:

“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hasan shahih)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyeru kaummnya kepada tauhid dan berdoa (memohon) kepada Allah semata, sebab Dialah Yang Mahakuasa dan Yang Maha Menciptakan, sedangkan selainNya adalah lemah dan tak kuasa menolak bahaya dari dirinya dan dari orang lain. Adapun mahabbah (cinta kepada orang-orang shalih), adalah dengan mengikuti amal shalihnya, tidak dengan menjadikannya perantara antara manusia dengan Allah, dan juga tidak menjadikannya sebagai tempat bermohon selain daripada Allah.

1. Penentangan orang-orang batil terhadapnya:

Para ahli bid’ah menentang keras dakwah tauhid yang dibangun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Ini tidak mengherankan, sebab musuh-musuh tauhid telah ada sejak zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan mereka merasa heran terhadap dakwah kepada tauhid. Allah berfirman:

“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Shaad: 5)

Musuh-musuh Syaikh memulai perbuatan kejinya dengan memerangi dan menyebarluaskan berita-berita bohong tentangnya. Bahkan mereka bersekongkol untuk membunuhnya dengan maksud agar dakwahnya terputus dan tak berkelanjutan. Tetapi Allah Subhana wa Ta’ala menjaganya dan memberinya penolong sehingga dakwah tauhid tersebar luas di Hejaz, dan di negara-negara Islam lainnya.

Meskipun demikian, hingga saat ini, masih ada pula sebagian manusia yang menyebarluaskan berita-berita bohong. Misalnya, mereka mengatakan dia (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) adalah pembuat madzhab yang kelima(3), padahal dia adalah seorang penganut madzhab Hanbali. Sebagian mereka mengatakan, orang-orang wahabi tidak mencintai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam serta tidak bershalawat di atasnya. Mereka anti bacaan shalawat.

Padahal kenyataannya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab – rahimahullah- telah menulis kitab Mukhtashar Siiratur Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam. Kitab ini bukti sejarah atas kecintaan Syaikh kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Mereka mengada-adakan berbagai cerita dusta tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, suatu hal yang karenanya mereka bakal dihisab pada hari Kiamat.Seandainya mereka mau mempelajari kitab-kitab beliau dengan penuh kesadaran, niscaya mereka akan menemukan Al-Quran, hadits dan ucapan shahabat sebagai rujukannya.

Seseorang yang dapat dipercaya memberitahukan kepada penulis, bahwa ada salah seorang ulama yang memperingatkan dalam pengajian-pengajiannya dari ajaran wahabi. Suatu hari, salah seorang dari hadirin memberinya sebuah kitab karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Sebelum diberikan, ia hilangkan terlebih dahulu nama pengarangnya. Ulama itu membaca kitab tersebut dan amat kagum dengan kandungannya. Setelah mengetahui siapa penulis buku yang dibaca, mulailah ia memuji Muhammad bin Abdul Wahab.

2. Dalam sebuah hadits disebutkan;

“Ya Allah, berilah keberkahan kepada kami di negeri Syam, dan di negeri Yaman. Mereka berkata, ‘Dan di negeri Nejed.’ Rasulullah berkata, ‘Di sana banyak terjadi berbagai kegoncangan dan fitnah, dan di sana (tempat) munculnya para pengikut setan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dan ulama lainnya menyebutkan, yang dimaksud Nejed dalam hadits di atas adalah Nejed Iraq. Hal itu terbukti dengan banyaknya fitnah yang terjadi di sana. Kota yang juga di situ Al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhuma dibunuh.

Hal ini berbeda dengan anggapan sebagian orang, bahwa yang dimaksud dengan Nejed adalah Hejaz, kota yang tidak pernah tampak di dalamnya fitnah sebagaimana yang terjadi Iraq. Bahkan sebaliknya, yang tampak di Nejed Hejaz adalah tauhid, yang karenanya Allah menciptakan alam, dan karenanya pula Allah mengutus para rasul.

3. Sebagian ulama yang adil sesungguhnya menyebutkan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah salah seorang mujaddi (pembaharu) abad dua belas Hijriyah.

Mereka menulis buku-buku tentang beliau. Di antara para pengarang yang menulis buku tentang Syaikh adalah Syaikh Ali Thanthawi. Beliau menulis buku tentang “Silsilah Tokoh-Tokoh Sejarah”, di atanra mereka terdapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan Ahmad bin ‘Irfan.

Dalam buku tersebut beliau menyebutkan, aqidah tauhid sampai ke India dan negeri-negeri lainnya melalui jama’ah haji dari kaum muslimin yang terpengaruh dakwah tauhid di kota Makkah. Karena itu, kompeni Inggris yang menjajah India ketika itu, bersama-sama dengan musuh-musuh Islam memerangi aqidah tauhid tersebut. Hal itu dilakukan, karena mereka mengetahui bahwa aqidah tauhid akan menyatukan umat Islam dalam melawan mereka.

Selanjutnya mereka mengomando kepada kaum Murtaziqah (orang-orang bayaran) agar mencemarkan nama baik dakwah kepada tauhid. Maka mereka pun menuduh setiap muwahhid yang menyeru kepada tauhid dengan kata wahabi. Kata itu mereka maksudkan sebagai padanan dari tukang bid’ah sehingga memalingkan umat Islam dari aqidah tauhid yang menyeru agar umat manusia berdoa hanya semata-mata kepada Allah. Orang-orang bodoh itu tidak mengetahui bahwa kata wahabi adalah nisbat kepada Al-Wahhaab (Yang Maha Pember), yaitu salah satu dari Nama-nama Allah yang paling baik (Asma’ul Husna) yang memberikan kepadanya tauhid dan menjanjikananya masuk Surga.

Catatan kaki:

(1) Dia memohon pertolongan kepada Syaikh Sa’d yang dikuburkan di dalam masjidnya.

(2) Orang-orang salaf adalah mereka yang mengikuti jalan para salafus shaleh. Yaitu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, para shahabat dan tabi’in.

(3) Sebab yang terkenal dalam dunia fiqih hanya ada empat madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.

(Jalan Golongan yang Selamat, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Darul Haq, Cetakan II, hal. 55-62)

oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Wahabi

dari :www.pahamwahabi.blogspot.com : Didirikan Muhammad bin Abdul Wahab dari keluarga klan Tamim yang menganut mazhab Hanbali. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini bagian dari Saudi Arabia, tahun 1111 H [1700 M] masehi, dan meninggal di Dar’iyyah pada tahun 1206 H [1792 M.] Ia sangat terpengaruh oleh tulisan-tulisan seorang ulama besar bermazhab Hanbali bernama Ibnu Taimiyah yang hidup di abad ke 4 M. Mengajar di Bashrah selama 4 tahun. Ketika pulang ke kampung halamannya ia menulis buku yang kemudian menjadi rujukan kaum pengikutnya, “Kitabut’Tauhid”. Para pengikutnya menamakan diri mereka dengan sebutan kaum Al-Muwahhidun (para pengesa Tuhan). Seakan hanya kelompok itulah yang pengesa Allah secara murni tanpa terpolusi dengan kesyirikan. Sedang kelompok-kelompok lain yang tak sepaham mereka anggap sebagai kelompok pelaku syirik, bid’ah dan khurafat yang sesat Uyaynah – pengkafiran umat Muslim Setelah Muhammad bin Abdul Wahab pindah ke Uyaynah – Dalam khotbah khotbah Jumat di Uyaynah tsb, ia mulai melakukan : * terang-terangan mengkafirkan semua kaum Muslimin yang dianggapnya :melakukan bid’ah [inovasi], dan mengajak kaum Muslimin agar kembali menjalankan agama seperti di zaman Nabi. * meletakkan teologi ultrapuritannya. Ia mengutuk berbagai tradisi dan akidah kaum Muslimin * menolak berbagai tafsir Al-Qur’ân yang dianggapnya mengandung bid’ah atau inovasi. Penyerangan Mula-mula ia menyerang mazhab Syiah (di luar Ahlusunah), lalu kaum Sufi, kemudian ia mulai melanjutkan penyerangan terhadap kaum Ahlusunah secara keseluruhan dengan cara yang brutal. Dengan mengecap mereka dengan berbagai julukan buruk seperti Quburiyuun (pemuja kubur) dikarenakan kaum ahlusunnah sepakat bahwa kuburan para nabi, rasul dan para kekasih Ilahi (Waliyullah) harus dihormati sesuai ajaran pendahulu (Salaf) yang sesuai dengan ajaran Rasul, para Sahabat setia beliau, juga para Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in. Diusir Tatkala masyarakat mulai merasa seperti duduk di atas bara, Muhammad bin Abdul Wahab diusir oleh penguasa [amir] setempat pada tahun 1774. Ia lalu pindah ke Al-Dar’iyyah, sebuah oase ibu kota keamiran Muhammad bin Sa’ud, masih di Najd. Al-Dar’iyyah Disini – Muhammad bin Abdul Wahab mendapat angin segar dalam menyebarkan ajaran sesatnya. Ia dihidupi, diayomi dan dilindungi langsung oleh sang Amir Dar’iyah, Muhammad bin Saud. Ibnu Saud Akhirnya Amir Muhammad bin Saud dan Muhammad bin ‘Abdul Wahab saling membaiat dan saling memberi dukungan untuk mendirikan negara teokratik. Mazhab Muhammad bin Abdul Wahab pun dinyatakan sebagai mazhab resmi wilayah kekuasaan Ibnu Saud. Dan Muhammad bin ‘Abdul Wahab akhirnya diangkat menjadi qadhi (hakim agama) wilayah kekuasaan Ibnu Saud. Hubungan keduanya semakin dekat setelah Ibnu Saud berhasil mengawini salah seorang putri Muhammad bin ‘Abdul Wahab. Penaklukan dan pembantaian Dilakukan, terutama terhadap kabilah-kabilah dan kelompok Ahlusunah yang menolak mazhab mereka (Wahaby), hingga terbentuklah sebuah emirat yg lalu diubah menjadi monarki dengan nama keluarga, Saudi Arabia, (mulai sejak tahun 1932 hingga kini). Pada bulan April tahun 1801, mereka membantai kaum Syi’ah di kota Karbala’ (salah satu kota suci kaum Syiah di Irak). Kesaksian Seorang penulis Wahabi menuliskan: “Pengikut Ibnu Saud mengepung dan kemudian menyerbu kota itu. Mereka membunuh hampir semua orang yang ada di pasar dan di rumah-rumah. Harta rampasan [ghanimah] tak terhitung Mereka hanya datang pagi dan pergi tengah hari, mengambil semua milik mereka. Hampir dua ribu orang dibunuh di kota Karbala”. Muhammad Finati, seorang muallaf Italia yang ikut dalam pasukan Khalifah daulah Usmaniyyah yang mengalahkan kaum Wahabi menulis : “Sebagian dari kami yang jatuh hidup-hidup ke tangan musuh yang kejam dan fanatik itu, dipotong-potong kaki dan tangan mereka secara semena-mena dan dibiarkan dalam keadaan demikian. Sebagian dari mereka, aku saksikan sendiri dengan mata kepala tatkala kami sedang mundur. Mereka yang teraniaya ini hanya memohon agar kami berbelas kasih untuk segera mengakhiri hidup mereka. Pembenaran untuk membunuh Kabilah-kabilah yang tidak mau mengikuti mazhab mereka dianggap kafir, ‘yang halal darahnya’. Dengan demikian mereka (Wahaby) tidak dinamakan perampok dan kriminal lagi, tapi kaum ‘mujahid’ yang secara teologis dibenarkan membunuh kaum ‘kafir’ termasuk wanita dan anakanak, merampok harta dan memperkosa istri dan putri putri mereka yang dianggap sah sebagai ghanimah (rampasan perang). Kekejaman berlanjut Hanya sedikit yang dapat melarikan diri. Setelah lebih dari 100 tahun kemudian, kekejaman itu masih juga dilakukan. Tatkala memasuki kota Tha’if tahun 1924, mereka menjarahnya selama tiga hari. Para qadhi dan ulama diseret dari rumahrumah mereka, kemudian dibantai dan ratusan yang lain dibunuh Tangan-tangan Inggris. Kerajaan Inggris membantu Wahabisme dengan uang, senjata dan keterampilan, sehingga kekuasaan Ibnu Saud menyebar ke seluruh jazirah Arab yang pada masa itu berada dalam kekhalifahan Usmaniyah dengan tujuan melemahkan khilafah itu. Jadi yang menggembosi kekuasaan daulah dan kekhalifahan Usmani adalah kelompok yang terkenal dengan sebutan Wahaby yang sekarang ini mengaku sebagai kelompok Salafy. Orang bisa membacanya dalam buku Hempher, ‘Confession of a British Spy’. Hampher adalah seorang orientalis yang menjalin persahabatan dengan Ibnu Abdul Wahab. Tahun 1800 seluruh Jazirah Arab telah dikuasai dan keamiran berubah menjadi kerajaan Saudi Arabia. Tuduhan pada Kelompok lain berlanjut Wahaby menganggap mazhab lain sebagai sesat dan menyesatkan dengan berpatokan pada hadis: “Kullu bid’ah dhalaalah wa kullu dhalaalah fî n-naar”. (semua inovasi itu sesat dan semua yang sesat itu masuk neraka). Kata “bid’ah” yang mereka tuduhkan hanyalah kata pelembut, untuk ‘kafir’, Contoh2 yg diklasifikasikan sbg Bid’ah menurut paham Wahabi : * berziarah ke kubur termasuk kubur Nabi, * tawassul, * baca qunut, * talqin, * tahlil, * istighatsah, * berzikir berjamaah, * membaca maulid diba’ ataupun burdah yang berupa puji-pujian pada Nabi yang biasa dilakukan kaum Muslimin Menurut mereka (kaum Wahabi) pelaku-pelaku spt diatas, akan masuk neraka, alias kafir. Dari sinilah akhirnya kaum Wahaby yang mengaku sebagai pengikut Salafy ini layak diberi gelar “Kelompok Takfir” (jama’ah takfiriyah), kelompok yang suka mengkafirkan golongan lain yang tidak sepakat dengan ajarannya. Oleh karena itu, tempat-tempat bersejarah Islam seperti rumah tempat lahir Nabi, rumah Ummul Mu’minin Khadijah tempat tinggal Nabi dan banyak tempat-tempat bersejarah lain yang masuk wilayah kerajaan Arab Saudi kini telah dihancurkan. Kalau tidak mendapat protes dari segenap kaum Muslimin sedunia niscaya kuburan Nabi pun sudah diratakan dengan tanah, sebagaimana yang terjadi di makam para sahabat dan syuhada’ Uhud di Baqi’ Madinah) dan para keluarga Rasul di Ma’la (Makkah). Wahabi di luar negeri Belakangan ini kita sering mendengar berita tentang eskalasi kekerasan di Saudi Arabia, termasuk penghancuran pipa minyak yang dilakukan oleh kaum fundamentalis Wahhabi, yang disebut-sebut sebagai tempat kelahiran Al-Qaeda. Bin Laden sang ketua al-Qaedah adalah seorang Wahabi tulen kelahiran Arab Saudi. Ia dibesarkan dan dijadikan anak angkat oleh CIA – USA. Konon anak angkat itu kini telah menjadi anak durhaka terhadap ibu angkatnya, USA. Bidan yang melahirkan wahabisme adalah kekuatan Imperialis Inggris, dan kini menjadi ‘kartu as’ pemerintahan biadab USA untuk menciptakan perpecahan dalam tubuh umat Islam. Nampaknya, skenario keji ini mulai menunjukkan hasil yang menggembirakan bagi USA dan kekuatan anti Islam lainnya ketika isu-isu tentang ancaman perang saudara di Irak menjadi headline seluruh media Barat yang diikuti secara ‘latah’ oleh mediamedia Indonesia. Jadi antara Inggris (pembonceng Zionis di Tim-Teng), keluarga Saud, Wahabisme dan USA (sekutu Inggris dan Israel) adalah mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karenanya tidak terlalu mengherankan jika Wahaby selalu menghamba terhadap kerajaan Saudi. Dan sementara keluarga Saudi selalu bertekuk lutut di hadapan USA saudara kembar Inggris (penyokong kekuasaan keluarga Saud) dalam banyak masalah, termasuk memberi dukungan secara sembunyi-sembunyi terhadap Zionisme Internasional dan turut membenci negara-negara yang anti Israel. Hal itu karena Israel mendapat dukungan penuh dari USA dan Inggris. Wallahu A’lam!

Wahabi

Berbohong atas nama Salaf dan pembesar umat sepertinya telah menjadi tabi’at kedua “Syeikhul Islam” Ibnu Taymiah…. Dalam artikel sebelumnya bagaimana pembaca saksikan secara langsung kepalsuan dan kebohongan klaim Ibnu Taymiah bahwa dalam masalah A telah terjadi kesepatan ulama Islam… dalam masalah B telah terjadi kesepakatan para Ahli Hadis…. Dalam masalah itu para sahabat Nabi telah bersepakat dan begitu seterusnya…. Seakan ia lupa bahwa kepalsuannya akan terbongkar pada suatu hari kelak, atau paling tidak kelak di hari kiamat Allah SWT akan memintanya untuk bertanggung jawabkan semua dusta dan kebohongan! Kini, dan untuk beberapa artikel berikutnya, saya akan mengajak Anda menyaksikan langsung kepalsuan klaim-klaim Ibnu Taymiah dalam masalah ayat-ayat atau khabar-khabar shifatiyah. Namun sebelumnya, saya ingin menjelaskan apa yang dimaksud dengan ayat-ayat atau khabar-khabar shifatiyah, yang menjadi permalasahan pelik di masa awal Islam dan hingga hari pun? Sebagian Ahli Kalam, khususnya kaum Mujassimah membagi macam tauhid menjadi tiga; tauhid dalam Rububiyah (penciptaan dan pengaturan), tauhid dalam Ulûhiyah (penyembahan), dan yang ketiga tauhid dalam asmâ’ dan shifât. Terlepas dari apakah pembagian di atas dapat ditemukan bukti kebenarannya dalam Al Qur’an dan Sunnah atau ia sekedar akal-akalannya sebagian Ahli Kalam belaka! Yang mereka maksud dengan tauhid dalam asmâ’ dan shifât seperti terlihat nyata dari kupasan dan ulasan para peyakinnya adalah menetapkan sifat untuk Allah seperti yang Allah sifati Dzatnya dalam Al Qur’an ataupun dalam hadis. Sampai batas ini sepertinya tidak ada masalah yang perlu diributkan. Akan tetapi ketika mendalaminya, maka kita akan menyaksikan terjadinya perang pendapat dan saling lempar tuduhan dan gelar memojokkan. Terkait dengan ayat-ayat dan khabar-khabar shifâtiyah para ulama, Ahli Kalam Islam terbagi menjadi tiga kubu yang saling bertentangan. Kubu Pertama, Kubu Mufawwidhah, yaitu kubu yang menerima ayat-ayat/khabar-khabar yang menyebutkan sifat tertentu, seperti يد-وجه-ينزل-هرول dan semisalnya tanpa memberikan komentar apapun dan tanpa memaknainya dengan makna apapun. Mereka menyerahkan penafsiran dan pemaknaannya kepada Allah SWT. Kubu Kedua, Kubu Mu’awwilah yaitu kubu yang menakwilkan setiap kata seperti pada contoh di atas dengan makna yang sesuai dengannya demi menyucikan Allah SWT dari penyerupakannya dengan makhluk-Nya. Kubu ini sering menjadi sasaran ejekan oleh kubu ketiga di bawah ini dengan ejekan Mu’aththilah/yaitu yang menafikan sifat atas Allah.[1] Kubu Ketika, Kubu Mujassimah/Musyabbihah yaitu kubu yang memaknai taks-teks shifatiyah dengan makna apa adanya tanda melibatkan konsep-konsep keindahan bahasa Arab seperti majâz, kinâyah dll. Kata: يد diartikan tangan, kata وجهdiartikan wajah, kata ينزل diartikan turun, kata هرول diartikan lari-lari kecil, kata: ضحك diartikan tertawa dan demikian seterusnya. Kendati untuk meloloskan diri dari jeratan tuduhan tasybih/tajsim yang sangat terkecam itu sebagian mereka menutup setiap penyebutan pemaknaan sifat tersebut dengan kata-kata: tidak seperti tangan makhluk-Nya, tidak seperti wajah makhluk-Nya…. Dan seterusnya. Walaupun penyebutan kata-kata terakhirnya ini sulit mengelakkan tuduhan tasybih/tajsim dari mereka. Kali ini saya tidak dalam kapasitas sebagai pembanding mana di antara ketiga kubu ini yang paling mewakili kebenaran dan akidah Islam yang lurus dalam mansalah Shifât Allah SWT. Akan tetapi, saya akan mengajak Anda meneliti bagaimana sebenarnya Mazhab Salaf umat ini dalam masalah menyikapi ayat-ayat Shifâtiyah? Dan apa klaim Ibnu Taymiah tentang mazhab Salaf? Untuk itu, saya akan menyajikan laporan dan keterangan asy Syahrastâni (w. 548 H) dalam kitab al Milal wa an Nihal-nya, mengingat apa yang ia sebutkan cukup detail dan dapat mewakili dalam menggambarkan ragam aliran dan kubu dalam menyikapi masalah ini, kemudian saya susul dengan menyebut ketarangan Ibnu Taymiah yang memuat klaim yang akan menjadi sorotan kita kali ini. Asy Syahrastâni berkata, “Ketahuilah bahwa kelompok yang banyak dari Salaf mereka menetapkan untuk Allah sifat-sifat azaliyah seperti: ilmu, qudrat (kemampuan), hayât (hidup), iradat (kehendak), sam’u (pendengaran), bashar (penglihatan), kalam (berfirman), jalâl (keperkasaan), ikrâm (kemuliaan), jûd (derma), in’âm (memberi nikmat), izzah (kejayaan /keperkasaan) dan ‘adzamah (keagungan). Mereka tidak membedakan antara sifat Dzat dan sifat fi’il (pekerjaan), mereka menyebutkannya dalam satu rangkaian. Demikian pula mereka menetapkan sifat-sifat khabariyah, seperti yadain, dan wajhun. Mereka tidak menakwilkannya, mereka berkata, ‘Ini adalah sifat-sifat telah datang dalam teks Syari’at, maka kami menamainya dengan sifat-sifat khabariyah.’ Dan dikarenakan kelompok Mu’tazilah menafikan sifat-sifat, sedangkan Salaf menetapkannya, maka Salaf dinamai Shifâtiyyah, sementara Mu’tazilah dinama Mu’aththilah. Sebagian Salaf berlebihan dalam sikap mereka dalam menetapkan sifat sampai-sampai mereka terjatuh dalam tasybîh/menyerupakan Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Sementara sebagian lainnya membatasi diri pada sifat-sifat yang ditunjukkan oleh pekerjaan dan apa yang datang dalam khabar. Kelompok terakhir ini berpecah menjadi dua kubu, sebagian mereka menakwilkannya sekira masih ditoleransi oleh lafadznya, dan di antara mereka ada yang berhenti tidak menakwilkannya. Mereka berkata, ‘Berdasarkan hukum akal kita mengetahui bahwa Allah tidak menyerupai sesuatu apapun dan tidak diserupai oleh apapun dari makhluk-makhluk-Nya. Kami pastikan hal itu, hanya saja kami tidak mengatahui makna lafadz yang datang dalam nash, seperti firman-Nya: {الرحمن على العرش استوى} Dan seperti firman-Nya: {خلقتُ بِيَدَيَّ} Dan firman-Nya: {وجاء رَبُّكَ} dan lain sebagainya. Kami tidak dibebani untuk mengetahui tafsir dan takwil ayat-ayat seperti itu. Taklif/beban syar’i yang datang adalah untuk mempercayai bahwa Dia tiada sekutu bagi-Nya, Dia tidak seperti sesuatu apapun. Dan itu telah kami tetapkan. Kemudian sekelompok dari kalangan mutakhkhirîn (yang datang belakangan) menambah dari apa yang diucapkan Salaf, mereka berkata, ‘Kita harus memberlakukan pemaknaannya secara dzahir/apa adanya, dan menafsirkannya sesuai denga khabar yang datang, tanpa menakwilkannya dan berhenti (seperti dua kubu sebelumnya_pen), maka mereka terjebak dalam Tasybîh murni. Dan pendapat ini menyalahi yang diyakini kaum Salaf! Tasybih murni itu ada dalam keyakinan kaum Yahudi, pada satu kelompok dari mereka yang disebut Qurrâîn, sebab dalam Tuarat terdapat kalimat-kalimat yang menunjukkan kepadanya.”[2] Dalam kesempatan lain ia menguraikan sebagai berikut, “Ketahuilah bahwa mazhab Salaf dari kalangan para ulama hadis ketika menyaksikan kaum Mu’tazilah tenggelam dalam ilmu Kalam dan menyalahi Ahlusunnah yang mereka dapati sejak zaman para imam yang terbimbing (Râsyidîn), dan mereka dibela oleh para penguasa bani Umayyah atas pandangan mereka tentang taqdir, dan juga oleh sekelompok dari para khalifah bani Abbas dalam pandangan tentang sifat dan khalqul Qur’an… maka mereka (Salaf) kebingungan dalam menetapkan mazhab Ahlusunnah wal Jama’ah tentang ayat-ayat dan khabar-khabar/hadis Nabi saw. yang mutasyâbihât. Adapun Ahmad ibn Hambal, Daud ibn Ali al Ishfahâni dan sekelompok dari para imam Salaf, mereka berjalan di atas manjah Salaf terdahulu dari kelompok Ahli Hadis, seperti Malik, Muqâtil ibn Sulaimân, mereka menempuh jalan keselamatan, mereka berkata, ‘Kami beriman dengan apa yang datang dalam al Qur’an dan Sunnah dan kami tidak melibatkan diri dalam memaknai dengan makna apapun, setelah kami mengetahui dengan pasti bahwa Allah -Azza wa Jalla- tidak menyerupai sesuatu apapun dari makhluk-Nya. Dan setiap apapun yang terbayang dalam waham kita maka Sang Maha Pencipta yang menciptakan dan menaqdirkannya. Mereka (Salaf) sangat berhati-hati dari tasybih (penyerupaan Allah SWT dengan makhluk-Nya) sampai-sampai mereka berkata, ‘Barang siapa mengerakkan tangannya ketika membaca ayat: {خلقتُ بِيَدَيَّ} Atau mengisyaratkan dengan dua jari-jarinya ketika menyampaikan riwayat: قلبُ المؤمنِ بين إصبعين من أصابع الرحمن. maka wajib tangannya untuk dipotong dan kedua jarinya dilepas. Mereka berkata, ‘Kami menghindar dari menafsirkan dan mnakwilkannya (ayat-ayat/khabar-khabar shifatiyah) karena dua alasan: Pertama, adanya larangan dalam Al Qur’an dalam firman Allah: فَأَمَّا الَّذينَ في‏ قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ ما تَشابَهَ مِنْهُ ابْتِغاءَ الْفِتْنَةِ وَ ابْتِغاءَ تَأْويلِهِ وَ ما يَعْلَمُ تَأْويلَهُ إِلاَّ اللَّهُ وَ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنا وَ ما يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُولُوا الْأَلْبابِ “…. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:” Kami beriman kepada ayat- ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran(daripadanya) melainkan orang- orang yang berakal.( QS. Âlu ‘Imrân/7) Kedua, bahwa takwil adalah perkara yang masih disangka-sangka yang bisa jadi benar secara kebetulan. Sedangkan berbicara tentang sifat Allah dengan sangkaan adalah tidak boleh… Adapun kamu Hasyawiyah, maka al Asy’ari melaporkan dari Muhammad ibn Isa bahwa ia menceritakan dari Mudhar, Kahmas dan Ahmad al Hujaimi bahwa mereka membolehkan Allah itu bersentuhan dan berjabat tangan dengan makhluk-Nya, dan kamum Muslimin yang ikhlash akan berpelukan dengan Allah di dunia dan di akhirat, tentunya jika mereka bersungguh-sungguh dalam mndekatkan diri sehingga mencapai derajat iskhlash dan menunggal penuh. Al Ka’bi menceritakan dari sebagian mereka bahwa ia membolehkan Allah untuk dapat dilihat (dengan mata telanjang) di dunia dan mereka dapat mengunjungin-Nya dan Allah dapat mengunjungi mereka. Dan ia menceritakan dari Daud al Jawâribi bahwa ia berkata, ‘Jangan tanyakan kepadaku apakah Allah punya alat fital dan jenggot atau tidak, tetapi tanyakan kepadaku tentang selainnya.’ Ia berkata bahwa Tuhan mereka adalah berfisik, jism terdiri dari daging dan darah, punya organ tubuh seperti tangan, kaki, kepala, lidah, dua mata, dua telinga, dll Dinukil darinya bahwa ia berkata, ‘Allah itu berbutuh kosong tengah (seperti pipa_pen) dari bagian atas hingga dada, selebihnya padat, dan Dia berjambul hitam dan berambut keriting. Adapun ayat yang datang dengan teks, istiwa’, wajah, tangan, janbun (punggung), datang, di atas … dan lain sebagainya, maka mereka berlakukan apa adanya secara lahiriyah. Yaitu sesusi yang difahami dalam makna bahasa ketika menggunakan kata-kata tersebut untuk sesutu yang bersifat bendawi. Begitu juga yang dimuat dalam khabar-khabar tentang posturisasi Allah dll, mereka berlakukan apa adanya sesuai dengan sifat-sifat fisik. Mereka menambahkan lagi berita-berita palsu yang mereka buat-buat lalu mereka sandarkan kepada Nabi saw., yang kebanyakan khabar-khabar itu diambil dari kaum Yahudi, sebab tasybih di kalangan mereka sudah menjadi watak, sampai-sampai mereka berkata, ‘Tuhan sakit mata, lalu para malaikat menjenguk-Nya.’ ‘Allah menagisi atas kejadian banjir di zaman Nuh sampai-sampai mata-Nya sakit.’ ‘Arsy-Nya Allah berbunyi seperti bunyi kendaraan baru.’ Dan postur Allah melebihi besarnya Arsy-Nya selebar empat jari-jari.’[3] Demikianlah, asy Syahrastâni melaporkan kepada kita dalam uraian panjangnya tentang ragam mazhab dan aliran tentang ayat-ayat dan hadis-hadis shifatiyah. Dari uraian panjangnya dapat disimpulkan bahwa: 1) Mazhab Salaf yang diwakili oleh para imam besar dan Ahli Hadis seperti Ahmad ibn Hambal, Daud ibn Ali al Ishfahâni, Malik, Muqâtil ibn Sulaimân dan lainnya dalam ayat-ayat dan hadis-hadis shifatiyah adalah tafwîdh. Mereka berkata, ‘Kami beriman dengan apa yang datang dalam al Qur’an dan Sunnah dan kami tidak melibatkan diri dalam memaknai dengan makna apapun.’ 2) Sebagian dari mereka menakwilkan ayat-ayat dan hadis-hadis shifatiyah dangan takwilan yang masih ditoleransi oleh lafadznya. 3) Sebagian Salaf berlebihan dalam sikap mereka dalam menetapkan sifat sampai-sampai mereka terjatuh dalam tasybîh/menyerupakan Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya. 4) Sekelompok mutakhkhirîn tidak konsisten di atas jalan Salaf dengan menambah dari apa yang diucapkan Salaf, mereka berkata, ‘Kita harus memberlakukan pemaknaannya secara dzahir/apa adanya, dan menafsirkannya sesuai denga khabar yang datang, tanpa menakwilkannya dan berhenti, maka mereka terjebak dalam Tasybîh murni. Dan pendapat ini menyalahi yang diyakini kaum Salaf! 5) Akidah Tasybih yang dipelopri oleh sebagia orang seperti Daud al Jawâribi, Mudhar, Kahmas dan Ahmad al Hujaimi dkk adalah akidah sesat yang diadopsi dari ajaran Yahudi. 6) Kaum Hasyawiyah menetapkan atas Allah sifat berpindah-pindah, naik turun, bersemayam dan bertempat. Dari uraian di atas Anda dapat menyaksikan langsung bagaimana mazbah Salaf seperti Imam Malik, Imam Ahmad dkk. Mereka tidak mau melibatkan diri dalam memaknai setiap kata/sifat yang dimuat dalam Al Qur’an maupun hadis! Bukan memaknai dengan makna apa adanya secara lahiriyah kebahasaannya. Dan akidah tasybih, seperti yang diyakini kaum Yahudi, khususnya dari sekte Qarrâîn ternyata adalah akidah yang diyakini dan diperjuangkan Ibnu Taymiah!! Akidah kaum Hasyawiyah yang disebutkan di atas juga akidah yang diyakini Ibnu Taymiah dan diperjuangkannya sampai-smpai ia mengafirkan sesiapa yang tidak meyakininya. Setelah Anda membaca laporan dan uraian asy Syahrastâni tentang mazhab Salaf, sekarang mari kita baca laporan Ibnu Taymiah ketika menggambarkan mazhab Salaf. Dan perlu selalu Anda ingat bahwa Anda berhak curiga terhadap penukilan Ibnu Taymiah atas nama Salaf atau siapapun, sebab sudah terlalu sering “Syeikhul Islam” yang satu ini menipu kita dengan kepalsuaan-kepalsuan klaimnya, sehingga sebagian orang berkata humor, ‘Andai Allah mewajibkan atas hamba-hamba-Nya untuk berbohong lalu mereka mena’ati-Nya dalam perintah itu niscaya mereka tidak akan mampu mendatangkan kepalsuan dan kebohongan lebih dari yang sudah dipraktikkan Ibnu Taymiah.’ Ketika menafsirkan ayat: الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى‏ “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arasy.”(QS. Thaha/5) Ibnu Taymiah berkata: “Barang siapa menakwilkannya; makna ayat dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Arsy di sini adalah kerajaan dan yang dimaksud dengan istawâ adalah menguasai, maka mereka tidak menghargai Allah denga sebenar penghargaan, dan tidak mengenal Allah dengan sebenar arti makrifat!!”[4] Dari pernyataan di atas terlihat jelas bahwa Ibnu Taymiah telah menetapkan batasan bagi Allah. Allah SWT beristiwâ’ di atas Arsy-Nya dengan makna dzahirnya yaitu bersemayam. Arsy itu akan meliputi-Nya… jika Anda menggambarkan Allah SWT dengan gambaran di atas maka menurut Ibnu Taymiah Anda benar-benar telah menghargai dan mengenal Allah dengan sebenarnya!! Di sini Anda dapat memerhatikan dengan jelas bahwa Ibnu Taymiah tidak berpegang dengan mazhab Salaf yang tidak mau melibatkan diri dalam mekanai ayat-ayat sifat dan hanya cukup memberlakuakn ayat-ayat semacam itu tanpa mekanainya…. Dan juga Ibnu Taymiah tidak bermazhab dengan mazhab kubu Mu’awwilah yang menakwilkan ayat-ayat tersebut dengan makna selain makna dzahirnya demi menyucikan Allah dari tasybih!! Sebab dalam anggapannya, barang siapa menakwil maka ia telah berpendapat seperti pendapatnya kaum Mu’aththilah yang menafikan sifat-sifat seperti sifat ilmu, hayat, qudrat dll. bagi Allah SWT. Tetapi tentunya anggapannya itu salah besar, sebab kaum Mu’aththilah itu menafikan sifat azaliyah Allah, sementara yang ia tetapkan bagi Allah adalah sifat sifik/bendawi, seperti naik-turun, duduk…. Dan antara keduanya terdapat perbedaan yang mencolok! Apapun alasan yang mendorongnya, tetap yang ia katakan adalah salah! Sampai di sini, tidaklah terlalu berbahaya, karena sebelum Ibnu Taymiah menyuarakan mazhab dan pandangannya tentang ayat-ayat dan hadis-hadis sifat, kaum Mujassimah pun telah lebih dahulu dan tidak kalah vokalnya dengan Ibnu Taymiah…. Akan tetapi bahaya sebenar arti bahaya ialah ketika Ibnu Taymiah menisbatkan kesesatan pendapatnya kepada kaum Salaf! Dan mengklaim -seperti kebiasaaan lamanya- bahwa demikianlah mazhab Salaf tanpa terkecuali!! Aku -kata Ibnu Taymiah- telah melahap seluruh tafsir Salaf dan tak kutemukan mereka menakwilkan dengan selain makna lahiriyah kebahasaan yang ada!! Perhatikan keterangan Ibnu Taymiah di bawah ini dan bandingkan dengan laporan asy Syahrastâni sebelumnya! “Adapun pendapat yang saya ucapkan dan saya tulis sekarang, -kendati dahulu saya tidak menulisnya dalam jawaban-jawaban saya, tetapi saya sampaikan dalam banyak majlis-majlis ilmu-, bahwa seluruh ayat shifatiyah dalam Al Qur’an maka tidak ada peselisihan di kalangan sahabat tantang takwilnya. Aku telah meneliti tafsir-tafsir yang dinukil dari para sahabat, dan yang diriwayatkan para ulama hadis, dan aku telah membaca kitab-kitab besar maupun kecil dalam julmah lebih dari seratus tafsir, tetapi sampai detik ini aku tidak mendapatkan seorang pun dari sahabat Nabi yang menakwilkan satu pun dari ayat-ayat sifat atau hadis-hadsi sifat dengan selain makna dzahirnya yang difahami dan makruf.”[5] Dan untuk mengetahui apakah kali ini Ibnu Taymiah telah meninggalkan kebiasaan berbohongnya serta tabi’at buruknya dalam kegemaran menipu dan memalsu, saya ajak Anda untuk merujuk satu di antara kitab tafsir andalan Ibnu Taymiah sendiri yang ia sifati dengan ’sebaik-baik tafsir yang tidak memuat bid’ah dan tidak pula meriwayatkan dari orang-orang tertuduh’… tafsir itu adalah tafsir Ibnu Jarir ath Thabari -tokoh tafsir Salaf terkemuka-…. Ketika Ibnu Taymiah ditanya tantang tafsir yang paling dekat kepada Al Qur’an dan Sunnah, maka ia menjawab, “Adapun tafsir-tafsir yang beredar di tangan orang-orang, maka yang paling shahih adalah tafsir Muhammad ibn Jarir ath Thabari. Ia menyebutkan ucapan-ucapan Salaf dengan sanad yang kokoh, di dalamnya tidak terdapat bid’ah dan ia tidak menukil dari orang-orang yang tertuduh, seperti Muqatil dan al Kalbi. “[6] Dan tepatnya pada ayat yang dinilainya sebagai paling agungnya ayat sifat[7] yaituAyat al Kursiy ayat 255 surah al Baqarah yang berbunyi: اَللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَ لاَ نَوْمٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَ مَا فِي الْأَرْضِ مَن ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ وَ مَا خَلْفَهُمْ وَ لاَ يُحِيْطُوْنَ بِشَيْئٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضَ وَ لاَ يَؤُوْدُهُ حِفْظُهُمَا وَ هُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ. “Allah, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Maha Hidup nan Berdiri Sendiri. Ia tidak mengantuk dan tidak tidur. Hanya bagi-Nya seluruh yang ada yang di langit dan di bumi. Tidak ada orang yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa seizin-Nya. Ia mengetahui segala yang berada di hadapan dan di belakang mereka, dan mereka tidak menguasai sedikit pun dari ilmu-Nya melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi-Nya meliputi seluruh langit dan bumi, dan Ia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Ia Maha Tinggi nan Maha Agung. “ Jika Anda merujuk tafsir ath Thabari, maka pertama laporan yang akan disajikan olehnya adalah dua hadis yang beliau riwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas ra. Ibnu Jarir berkata: “Ahli takwil berselisih tentang makna al Kursiy. Sebagian dari mereka berkata ia adalah ilmu Allah -Ta’alâ-. Dzikru, sebutan tentang orang yang berpendapat demikian: o Abu Kuraib dan Salami ibn Jinadah dari Ibnu Idris dari Mathraf dari Ja’far ibn Abi al Mughirah dari Sa’id ibn Jubair dari Ibnu Abbas, ia berkata: {كرسيه} علمه. “Kursi-Nya adalah ilmu-Nya.” o Ya’qub ibn Ibrahim dari Hasyîm dari Mathraf dari Ja’far ibn Abi al Mughirah dari Sa’id ibn Jubair dari Ibnu Abbas: {كرسيه} علمه. “Kursi-Nya adalah ilmu-Nya.” Tidakkah engkau memerhatikan firman-Nya: وَ لاَ يَؤُوْدُهُ حِفْظُهُمَا “dan Ia tidak merasa berat memelihara keduanya.”[8] Ketika kita menyakisikan Ibnu Jarir mengawali uraiannya dengan mengatakan“Ahli takwil berselisih tentang makna al Kursiy” justru kita baca Ibnu Taymiah mamastikan dengan tegas bahwa Salaf tidak berselisih barang sedkitipun tentang masalah ini!! Ketika kita mendapat Ibnu Taymiah memastikan dengan yakin bahwa, “aku telah membaca kitab-kitab besar maupun kecil dalam julmah lebih dari seratus tafsir, tetapi sampai detik ini aku tidak mendapatkan seorang pun dari sahabat Nabi yang menakwilkan satu pun dari ayat-ayat sifat atau hadis-hadsi sifat dengan selain makna dzahirnya yang difahami dan makruf”, justru kita menyaksikan Ibnu Jarir -Syeikhu as Salaf ash Shaleh- mengawali uraiannya dengan menyebut takwil sahabat Ibnu Abbas ra. yang membubarkan klaim palsu Ibnu Taymiah dan menjadikannya bak daun-daun kering di musim gugur yang ditiup anging kencang!!! Ibnu Taymiah memproklamirkan mazhab Hasyawiyah yang memalukan yang sempat dihimpung ath Thabari namun ia tolak … Ibnu Taymiah mempopulerkan mazhab Hasyawiyah yang mengatakan bahwa Kursiy Allah adalah tempat Allah meletakkan kedua kaki-Nya atau ia adalah singgasana yang Allah duduk di atasnya…. dan ia kerena beratnya beban yang mendudukinya maka ia bersuara seperti suara yang terdengar dari kendaraan/kereta, andong yang baru!! Setelah menukil beberapa tafsir selain tafsir Ibnu Abbas ra., ath Thabari menutupnya dengan mengatakan, “Adapun yang menunjukkan kebenaran takwil Ibnu Abbas bahwa Kursiy adalah ilmu Allah adalah firman-Nya: وَ لاَ يَؤُوْدُهُ حِفْظُهُمَا “dan Ia tidak merasa berat memelihara keduanya.” (hingga akhir uraiannya, Anda dapat merujuknya langsung dengan lengkap) Setelah itu, ath Thabari berpindah menafsirkan bagian akhir ayat yang juga merupakan ayat-ayat sifat: وَ هُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ. “Dan Ia Maha Tinggi nan Maha Agung.” Kaum Mujassimah mengartikan ayat di atas dengan ketinggian Allah secara fisik, yang mereka ungkapkan dengan istilah al ‘Uluw al Hissi/ al ‘Uluw ad Dzâti/ al ‘Uluw Haqiqatan, yaitu sisi atas, bukan ketinggian kedudukan seperti yang diyakini Ahlusunnah. Pendapat kaum Mujassimah inilah yang diyakini dan dibela serat diperjuangkan Ibnu Taymiah. Ath Thabari berkata: “Para peneliti berselisih pendapat tentang firman-Nya: وَ هُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ. “Dan Ia Maha Tinggi nan Maha Agung.” Sebagian mereka berkata, ‘Yang dimaksud dengannya adalah Allah Maha Tinggi dari ada yang menandingi dan menyerupai.’ Mereka menentang jika maksudnya adalah ketinggian tempat/sifik al ‘uluw al makâni. Mereka berkata, ‘Tidak boleh sebuah tempat kosong dari-Nya, dan tidaklah bermakna kita mensifati-Nya dengan ketinggian tempat, sebab mensifatinya demikian berati Dia berada di tempat tertentu dan tidak di tempat lain.”[9] Inilah total ucapan Salaf tentang ayat sifat teragung, sengaja saya bawakan agar dapat Anda saksikan langsung…. dan setelahnya Anda dapat menilianya sendiri apa nilai omongan dan klaim Ibnu Taymiah ketika ia berkata: “aku telah membaca kitab-kitab besar maupun kecil dalam julmah lebih dari seratus tafsir, tetapi sampai detik ini aku tidak mendapatkan seorang pun dari sahabat Nabi yang menakwilkan satu pun dari ayat-ayat sifat atau hadis-hadsi sifat dengan selain makna dzahirnya yang difahami dan makruf”,!!! Salahkah jika setelah itu ada yang terpaksa mengatakan , “Sepertinya Anda -wahai “Syeikhul Islam“- belum juga berniat mau berhenti berdusta atas nama Salaf?!” “Mengapa begitu sulit atasmu meninggalkan kebiasaan buruk berbohong atas nama pembesar umat?!” Kami sudah lama menanti dan menanti barang sekali saja engkau berkata jujur dan tidak menipu kami!” Dan ini, sekali lagi adalah bukti terkini yang saya hadirkan untuk para pecinta blog kami…. nantikan seri-seri kebohongan dan kepalsuan Ibnu Taymiah lainnya! [1] Ibnu Taymiah dan juga para pengikutnya yang sekarang diwakili oleh kelompok Sekte Wahhabi, menyebut diri mereka Ahlusunnah dan pewaris sejati kubu Salaf, sementara itu mazhab Asy’ariyah mereka ejek dengan menyebutnya sebagai Mu’aththilah yang tentunya mereka kelompokkan sebagai Ahli Bid’ah! [2] Al Milal wa an Nihal,1/84-85, Bab ketiga. [3] Ibid.95-97. [4] Tafsir al Kabir;Ibnu Taymiah,1/270. [5] Tafsir surah an Nur:178-179. [6] Mukadddimah fî Ushûl at Tafsir:51 dan at Tafsir al Kabir,2/255. [7] Al fatâwâ,6/322. [8] Tafsir Jâmi’ al Bayân; Ibnu Jarir ath Thabari,3/7. [9] Ibid.9.Berbohong atas nama Salaf dan pembesar umat sepertinya telah menjadi tabi’at kedua “Syeikhul Islam” Ibnu Taymiah…. Dalam artikel sebelumnya bagaimana pembaca saksikan secara langsung kepalsuan dan kebohongan klaim Ibnu Taymiah bahwa dalam masalah A telah terjadi kesepatan ulama Islam… dalam masalah B telah terjadi kesepakatan para Ahli Hadis…. Dalam masalah itu para sahabat Nabi telah bersepakat dan begitu seterusnya…. Seakan ia lupa bahwa kepalsuannya akan terbongkar pada suatu hari kelak, atau paling tidak kelak di hari kiamat Allah SWT akan memintanya untuk bertanggung jawabkan semua dusta dan kebohongan! Kini, dan untuk beberapa artikel berikutnya, saya akan mengajak Anda menyaksikan langsung kepalsuan klaim-klaim Ibnu Taymiah dalam masalah ayat-ayat atau khabar-khabar shifatiyah. Namun sebelumnya, saya ingin menjelaskan apa yang dimaksud dengan ayat-ayat atau khabar-khabar shifatiyah, yang menjadi permalasahan pelik di masa awal Islam dan hingga hari pun? Sebagian Ahli Kalam, khususnya kaum Mujassimah membagi macam tauhid menjadi tiga; tauhid dalam Rububiyah (penciptaan dan pengaturan), tauhid dalam Ulûhiyah (penyembahan), dan yang ketiga tauhid dalam asmâ’ dan shifât. Terlepas dari apakah pembagian di atas dapat ditemukan bukti kebenarannya dalam Al Qur’an dan Sunnah atau ia sekedar akal-akalannya sebagian Ahli Kalam belaka! Yang mereka maksud dengan tauhid dalam asmâ’ dan shifât seperti terlihat nyata dari kupasan dan ulasan para peyakinnya adalah menetapkan sifat untuk Allah seperti yang Allah sifati Dzatnya dalam Al Qur’an ataupun dalam hadis. Sampai batas ini sepertinya tidak ada masalah yang perlu diributkan. Akan tetapi ketika mendalaminya, maka kita akan menyaksikan terjadinya perang pendapat dan saling lempar tuduhan dan gelar memojokkan. Terkait dengan ayat-ayat dan khabar-khabar shifâtiyah para ulama, Ahli Kalam Islam terbagi menjadi tiga kubu yang saling bertentangan. Kubu Pertama, Kubu Mufawwidhah, yaitu kubu yang menerima ayat-ayat/khabar-khabar yang menyebutkan sifat tertentu, seperti يد-وجه-ينزل-هرول dan semisalnya tanpa memberikan komentar apapun dan tanpa memaknainya dengan makna apapun. Mereka menyerahkan penafsiran dan pemaknaannya kepada Allah SWT. Kubu Kedua, Kubu Mu’awwilah yaitu kubu yang menakwilkan setiap kata seperti pada contoh di atas dengan makna yang sesuai dengannya demi menyucikan Allah SWT dari penyerupakannya dengan makhluk-Nya. Kubu ini sering menjadi sasaran ejekan oleh kubu ketiga di bawah ini dengan ejekan Mu’aththilah/yaitu yang menafikan sifat atas Allah.[1] Kubu Ketika, Kubu Mujassimah/Musyabbihah yaitu kubu yang memaknai taks-teks shifatiyah dengan makna apa adanya tanda melibatkan konsep-konsep keindahan bahasa Arab seperti majâz, kinâyah dll. Kata: يد diartikan tangan, kata وجهdiartikan wajah, kata ينزل diartikan turun, kata هرول diartikan lari-lari kecil, kata: ضحك diartikan tertawa dan demikian seterusnya. Kendati untuk meloloskan diri dari jeratan tuduhan tasybih/tajsim yang sangat terkecam itu sebagian mereka menutup setiap penyebutan pemaknaan sifat tersebut dengan kata-kata: tidak seperti tangan makhluk-Nya, tidak seperti wajah makhluk-Nya…. Dan seterusnya. Walaupun penyebutan kata-kata terakhirnya ini sulit mengelakkan tuduhan tasybih/tajsim dari mereka. Kali ini saya tidak dalam kapasitas sebagai pembanding mana di antara ketiga kubu ini yang paling mewakili kebenaran dan akidah Islam yang lurus dalam mansalah Shifât Allah SWT. Akan tetapi, saya akan mengajak Anda meneliti bagaimana sebenarnya Mazhab Salaf umat ini dalam masalah menyikapi ayat-ayat Shifâtiyah? Dan apa klaim Ibnu Taymiah tentang mazhab Salaf? Untuk itu, saya akan menyajikan laporan dan keterangan asy Syahrastâni (w. 548 H) dalam kitab al Milal wa an Nihal-nya, mengingat apa yang ia sebutkan cukup detail dan dapat mewakili dalam menggambarkan ragam aliran dan kubu dalam menyikapi masalah ini, kemudian saya susul dengan menyebut ketarangan Ibnu Taymiah yang memuat klaim yang akan menjadi sorotan kita kali ini. Asy Syahrastâni berkata, “Ketahuilah bahwa kelompok yang banyak dari Salaf mereka menetapkan untuk Allah sifat-sifat azaliyah seperti: ilmu, qudrat (kemampuan), hayât (hidup), iradat (kehendak), sam’u (pendengaran), bashar (penglihatan), kalam (berfirman), jalâl (keperkasaan), ikrâm (kemuliaan), jûd (derma), in’âm (memberi nikmat), izzah (kejayaan /keperkasaan) dan ‘adzamah (keagungan). Mereka tidak membedakan antara sifat Dzat dan sifat fi’il (pekerjaan), mereka menyebutkannya dalam satu rangkaian. Demikian pula mereka menetapkan sifat-sifat khabariyah, seperti yadain, dan wajhun. Mereka tidak menakwilkannya, mereka berkata, ‘Ini adalah sifat-sifat telah datang dalam teks Syari’at, maka kami menamainya dengan sifat-sifat khabariyah.’ Dan dikarenakan kelompok Mu’tazilah menafikan sifat-sifat, sedangkan Salaf menetapkannya, maka Salaf dinamai Shifâtiyyah, sementara Mu’tazilah dinama Mu’aththilah. Sebagian Salaf berlebihan dalam sikap mereka dalam menetapkan sifat sampai-sampai mereka terjatuh dalam tasybîh/menyerupakan Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Sementara sebagian lainnya membatasi diri pada sifat-sifat yang ditunjukkan oleh pekerjaan dan apa yang datang dalam khabar. Kelompok terakhir ini berpecah menjadi dua kubu, sebagian mereka menakwilkannya sekira masih ditoleransi oleh lafadznya, dan di antara mereka ada yang berhenti tidak menakwilkannya. Mereka berkata, ‘Berdasarkan hukum akal kita mengetahui bahwa Allah tidak menyerupai sesuatu apapun dan tidak diserupai oleh apapun dari makhluk-makhluk-Nya. Kami pastikan hal itu, hanya saja kami tidak mengatahui makna lafadz yang datang dalam nash, seperti firman-Nya: {الرحمن على العرش استوى} Dan seperti firman-Nya: {خلقتُ بِيَدَيَّ} Dan firman-Nya: {وجاء رَبُّكَ} dan lain sebagainya. Kami tidak dibebani untuk mengetahui tafsir dan takwil ayat-ayat seperti itu. Taklif/beban syar’i yang datang adalah untuk mempercayai bahwa Dia tiada sekutu bagi-Nya, Dia tidak seperti sesuatu apapun. Dan itu telah kami tetapkan. Kemudian sekelompok dari kalangan mutakhkhirîn (yang datang belakangan) menambah dari apa yang diucapkan Salaf, mereka berkata, ‘Kita harus memberlakukan pemaknaannya secara dzahir/apa adanya, dan menafsirkannya sesuai denga khabar yang datang, tanpa menakwilkannya dan berhenti (seperti dua kubu sebelumnya_pen), maka mereka terjebak dalam Tasybîh murni. Dan pendapat ini menyalahi yang diyakini kaum Salaf! Tasybih murni itu ada dalam keyakinan kaum Yahudi, pada satu kelompok dari mereka yang disebut Qurrâîn, sebab dalam Tuarat terdapat kalimat-kalimat yang menunjukkan kepadanya.”[2] Dalam kesempatan lain ia menguraikan sebagai berikut, “Ketahuilah bahwa mazhab Salaf dari kalangan para ulama hadis ketika menyaksikan kaum Mu’tazilah tenggelam dalam ilmu Kalam dan menyalahi Ahlusunnah yang mereka dapati sejak zaman para imam yang terbimbing (Râsyidîn), dan mereka dibela oleh para penguasa bani Umayyah atas pandangan mereka tentang taqdir, dan juga oleh sekelompok dari para khalifah bani Abbas dalam pandangan tentang sifat dan khalqul Qur’an… maka mereka (Salaf) kebingungan dalam menetapkan mazhab Ahlusunnah wal Jama’ah tentang ayat-ayat dan khabar-khabar/hadis Nabi saw. yang mutasyâbihât. Adapun Ahmad ibn Hambal, Daud ibn Ali al Ishfahâni dan sekelompok dari para imam Salaf, mereka berjalan di atas manjah Salaf terdahulu dari kelompok Ahli Hadis, seperti Malik, Muqâtil ibn Sulaimân, mereka menempuh jalan keselamatan, mereka berkata, ‘Kami beriman dengan apa yang datang dalam al Qur’an dan Sunnah dan kami tidak melibatkan diri dalam memaknai dengan makna apapun, setelah kami mengetahui dengan pasti bahwa Allah -Azza wa Jalla- tidak menyerupai sesuatu apapun dari makhluk-Nya. Dan setiap apapun yang terbayang dalam waham kita maka Sang Maha Pencipta yang menciptakan dan menaqdirkannya. Mereka (Salaf) sangat berhati-hati dari tasybih (penyerupaan Allah SWT dengan makhluk-Nya) sampai-sampai mereka berkata, ‘Barang siapa mengerakkan tangannya ketika membaca ayat: {خلقتُ بِيَدَيَّ} Atau mengisyaratkan dengan dua jari-jarinya ketika menyampaikan riwayat: قلبُ المؤمنِ بين إصبعين من أصابع الرحمن. maka wajib tangannya untuk dipotong dan kedua jarinya dilepas. Mereka berkata, ‘Kami menghindar dari menafsirkan dan mnakwilkannya (ayat-ayat/khabar-khabar shifatiyah) karena dua alasan: Pertama, adanya larangan dalam Al Qur’an dalam firman Allah: فَأَمَّا الَّذينَ في‏ قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ ما تَشابَهَ مِنْهُ ابْتِغاءَ الْفِتْنَةِ وَ ابْتِغاءَ تَأْويلِهِ وَ ما يَعْلَمُ تَأْويلَهُ إِلاَّ اللَّهُ وَ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنا وَ ما يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُولُوا الْأَلْبابِ “…. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:” Kami beriman kepada ayat- ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran(daripadanya) melainkan orang- orang yang berakal.( QS. Âlu ‘Imrân/7) Kedua, bahwa takwil adalah perkara yang masih disangka-sangka yang bisa jadi benar secara kebetulan. Sedangkan berbicara tentang sifat Allah dengan sangkaan adalah tidak boleh… Adapun kamu Hasyawiyah, maka al Asy’ari melaporkan dari Muhammad ibn Isa bahwa ia menceritakan dari Mudhar, Kahmas dan Ahmad al Hujaimi bahwa mereka membolehkan Allah itu bersentuhan dan berjabat tangan dengan makhluk-Nya, dan kamum Muslimin yang ikhlash akan berpelukan dengan Allah di dunia dan di akhirat, tentunya jika mereka bersungguh-sungguh dalam mndekatkan diri sehingga mencapai derajat iskhlash dan menunggal penuh. Al Ka’bi menceritakan dari sebagian mereka bahwa ia membolehkan Allah untuk dapat dilihat (dengan mata telanjang) di dunia dan mereka dapat mengunjungin-Nya dan Allah dapat mengunjungi mereka. Dan ia menceritakan dari Daud al Jawâribi bahwa ia berkata, ‘Jangan tanyakan kepadaku apakah Allah punya alat fital dan jenggot atau tidak, tetapi tanyakan kepadaku tentang selainnya.’ Ia berkata bahwa Tuhan mereka adalah berfisik, jism terdiri dari daging dan darah, punya organ tubuh seperti tangan, kaki, kepala, lidah, dua mata, dua telinga, dll Dinukil darinya bahwa ia berkata, ‘Allah itu berbutuh kosong tengah (seperti pipa_pen) dari bagian atas hingga dada, selebihnya padat, dan Dia berjambul hitam dan berambut keriting. Adapun ayat yang datang dengan teks, istiwa’, wajah, tangan, janbun (punggung), datang, di atas … dan lain sebagainya, maka mereka berlakukan apa adanya secara lahiriyah. Yaitu sesusi yang difahami dalam makna bahasa ketika menggunakan kata-kata tersebut untuk sesutu yang bersifat bendawi. Begitu juga yang dimuat dalam khabar-khabar tentang posturisasi Allah dll, mereka berlakukan apa adanya sesuai dengan sifat-sifat fisik. Mereka menambahkan lagi berita-berita palsu yang mereka buat-buat lalu mereka sandarkan kepada Nabi saw., yang kebanyakan khabar-khabar itu diambil dari kaum Yahudi, sebab tasybih di kalangan mereka sudah menjadi watak, sampai-sampai mereka berkata, ‘Tuhan sakit mata, lalu para malaikat menjenguk-Nya.’ ‘Allah menagisi atas kejadian banjir di zaman Nuh sampai-sampai mata-Nya sakit.’ ‘Arsy-Nya Allah berbunyi seperti bunyi kendaraan baru.’ Dan postur Allah melebihi besarnya Arsy-Nya selebar empat jari-jari.’[3] Demikianlah, asy Syahrastâni melaporkan kepada kita dalam uraian panjangnya tentang ragam mazhab dan aliran tentang ayat-ayat dan hadis-hadis shifatiyah. Dari uraian panjangnya dapat disimpulkan bahwa: 1) Mazhab Salaf yang diwakili oleh para imam besar dan Ahli Hadis seperti Ahmad ibn Hambal, Daud ibn Ali al Ishfahâni, Malik, Muqâtil ibn Sulaimân dan lainnya dalam ayat-ayat dan hadis-hadis shifatiyah adalah tafwîdh. Mereka berkata, ‘Kami beriman dengan apa yang datang dalam al Qur’an dan Sunnah dan kami tidak melibatkan diri dalam memaknai dengan makna apapun.’ 2) Sebagian dari mereka menakwilkan ayat-ayat dan hadis-hadis shifatiyah dangan takwilan yang masih ditoleransi oleh lafadznya. 3) Sebagian Salaf berlebihan dalam sikap mereka dalam menetapkan sifat sampai-sampai mereka terjatuh dalam tasybîh/menyerupakan Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya. 4) Sekelompok mutakhkhirîn tidak konsisten di atas jalan Salaf dengan menambah dari apa yang diucapkan Salaf, mereka berkata, ‘Kita harus memberlakukan pemaknaannya secara dzahir/apa adanya, dan menafsirkannya sesuai denga khabar yang datang, tanpa menakwilkannya dan berhenti, maka mereka terjebak dalam Tasybîh murni. Dan pendapat ini menyalahi yang diyakini kaum Salaf! 5) Akidah Tasybih yang dipelopri oleh sebagia orang seperti Daud al Jawâribi, Mudhar, Kahmas dan Ahmad al Hujaimi dkk adalah akidah sesat yang diadopsi dari ajaran Yahudi. 6) Kaum Hasyawiyah menetapkan atas Allah sifat berpindah-pindah, naik turun, bersemayam dan bertempat. Dari uraian di atas Anda dapat menyaksikan langsung bagaimana mazbah Salaf seperti Imam Malik, Imam Ahmad dkk. Mereka tidak mau melibatkan diri dalam memaknai setiap kata/sifat yang dimuat dalam Al Qur’an maupun hadis! Bukan memaknai dengan makna apa adanya secara lahiriyah kebahasaannya. Dan akidah tasybih, seperti yang diyakini kaum Yahudi, khususnya dari sekte Qarrâîn ternyata adalah akidah yang diyakini dan diperjuangkan Ibnu Taymiah!! Akidah kaum Hasyawiyah yang disebutkan di atas juga akidah yang diyakini Ibnu Taymiah dan diperjuangkannya sampai-smpai ia mengafirkan sesiapa yang tidak meyakininya. Setelah Anda membaca laporan dan uraian asy Syahrastâni tentang mazhab Salaf, sekarang mari kita baca laporan Ibnu Taymiah ketika menggambarkan mazhab Salaf. Dan perlu selalu Anda ingat bahwa Anda berhak curiga terhadap penukilan Ibnu Taymiah atas nama Salaf atau siapapun, sebab sudah terlalu sering “Syeikhul Islam” yang satu ini menipu kita dengan kepalsuaan-kepalsuan klaimnya, sehingga sebagian orang berkata humor, ‘Andai Allah mewajibkan atas hamba-hamba-Nya untuk berbohong lalu mereka mena’ati-Nya dalam perintah itu niscaya mereka tidak akan mampu mendatangkan kepalsuan dan kebohongan lebih dari yang sudah dipraktikkan Ibnu Taymiah.’ Ketika menafsirkan ayat: الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى‏ “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arasy.”(QS. Thaha/5) Ibnu Taymiah berkata: “Barang siapa menakwilkannya; makna ayat dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Arsy di sini adalah kerajaan dan yang dimaksud dengan istawâ adalah menguasai, maka mereka tidak menghargai Allah denga sebenar penghargaan, dan tidak mengenal Allah dengan sebenar arti makrifat!!”[4] Dari pernyataan di atas terlihat jelas bahwa Ibnu Taymiah telah menetapkan batasan bagi Allah. Allah SWT beristiwâ’ di atas Arsy-Nya dengan makna dzahirnya yaitu bersemayam. Arsy itu akan meliputi-Nya… jika Anda menggambarkan Allah SWT dengan gambaran di atas maka menurut Ibnu Taymiah Anda benar-benar telah menghargai dan mengenal Allah dengan sebenarnya!! Di sini Anda dapat memerhatikan dengan jelas bahwa Ibnu Taymiah tidak berpegang dengan mazhab Salaf yang tidak mau melibatkan diri dalam mekanai ayat-ayat sifat dan hanya cukup memberlakuakn ayat-ayat semacam itu tanpa mekanainya…. Dan juga Ibnu Taymiah tidak bermazhab dengan mazhab kubu Mu’awwilah yang menakwilkan ayat-ayat tersebut dengan makna selain makna dzahirnya demi menyucikan Allah dari tasybih!! Sebab dalam anggapannya, barang siapa menakwil maka ia telah berpendapat seperti pendapatnya kaum Mu’aththilah yang menafikan sifat-sifat seperti sifat ilmu, hayat, qudrat dll. bagi Allah SWT. Tetapi tentunya anggapannya itu salah besar, sebab kaum Mu’aththilah itu menafikan sifat azaliyah Allah, sementara yang ia tetapkan bagi Allah adalah sifat sifik/bendawi, seperti naik-turun, duduk…. Dan antara keduanya terdapat perbedaan yang mencolok! Apapun alasan yang mendorongnya, tetap yang ia katakan adalah salah! Sampai di sini, tidaklah terlalu berbahaya, karena sebelum Ibnu Taymiah menyuarakan mazhab dan pandangannya tentang ayat-ayat dan hadis-hadis sifat, kaum Mujassimah pun telah lebih dahulu dan tidak kalah vokalnya dengan Ibnu Taymiah…. Akan tetapi bahaya sebenar arti bahaya ialah ketika Ibnu Taymiah menisbatkan kesesatan pendapatnya kepada kaum Salaf! Dan mengklaim -seperti kebiasaaan lamanya- bahwa demikianlah mazhab Salaf tanpa terkecuali!! Aku -kata Ibnu Taymiah- telah melahap seluruh tafsir Salaf dan tak kutemukan mereka menakwilkan dengan selain makna lahiriyah kebahasaan yang ada!! Perhatikan keterangan Ibnu Taymiah di bawah ini dan bandingkan dengan laporan asy Syahrastâni sebelumnya! “Adapun pendapat yang saya ucapkan dan saya tulis sekarang, -kendati dahulu saya tidak menulisnya dalam jawaban-jawaban saya, tetapi saya sampaikan dalam banyak majlis-majlis ilmu-, bahwa seluruh ayat shifatiyah dalam Al Qur’an maka tidak ada peselisihan di kalangan sahabat tantang takwilnya. Aku telah meneliti tafsir-tafsir yang dinukil dari para sahabat, dan yang diriwayatkan para ulama hadis, dan aku telah membaca kitab-kitab besar maupun kecil dalam julmah lebih dari seratus tafsir, tetapi sampai detik ini aku tidak mendapatkan seorang pun dari sahabat Nabi yang menakwilkan satu pun dari ayat-ayat sifat atau hadis-hadsi sifat dengan selain makna dzahirnya yang difahami dan makruf.”[5] Dan untuk mengetahui apakah kali ini Ibnu Taymiah telah meninggalkan kebiasaan berbohongnya serta tabi’at buruknya dalam kegemaran menipu dan memalsu, saya ajak Anda untuk merujuk satu di antara kitab tafsir andalan Ibnu Taymiah sendiri yang ia sifati dengan ’sebaik-baik tafsir yang tidak memuat bid’ah dan tidak pula meriwayatkan dari orang-orang tertuduh’… tafsir itu adalah tafsir Ibnu Jarir ath Thabari -tokoh tafsir Salaf terkemuka-…. Ketika Ibnu Taymiah ditanya tantang tafsir yang paling dekat kepada Al Qur’an dan Sunnah, maka ia menjawab, “Adapun tafsir-tafsir yang beredar di tangan orang-orang, maka yang paling shahih adalah tafsir Muhammad ibn Jarir ath Thabari. Ia menyebutkan ucapan-ucapan Salaf dengan sanad yang kokoh, di dalamnya tidak terdapat bid’ah dan ia tidak menukil dari orang-orang yang tertuduh, seperti Muqatil dan al Kalbi. “[6] Dan tepatnya pada ayat yang dinilainya sebagai paling agungnya ayat sifat[7] yaituAyat al Kursiy ayat 255 surah al Baqarah yang berbunyi: اَللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَ لاَ نَوْمٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَ مَا فِي الْأَرْضِ مَن ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ وَ مَا خَلْفَهُمْ وَ لاَ يُحِيْطُوْنَ بِشَيْئٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضَ وَ لاَ يَؤُوْدُهُ حِفْظُهُمَا وَ هُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ. “Allah, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Maha Hidup nan Berdiri Sendiri. Ia tidak mengantuk dan tidak tidur. Hanya bagi-Nya seluruh yang ada yang di langit dan di bumi. Tidak ada orang yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa seizin-Nya. Ia mengetahui segala yang berada di hadapan dan di belakang mereka, dan mereka tidak menguasai sedikit pun dari ilmu-Nya melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi-Nya meliputi seluruh langit dan bumi, dan Ia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Ia Maha Tinggi nan Maha Agung. “ Jika Anda merujuk tafsir ath Thabari, maka pertama laporan yang akan disajikan olehnya adalah dua hadis yang beliau riwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas ra. Ibnu Jarir berkata: “Ahli takwil berselisih tentang makna al Kursiy. Sebagian dari mereka berkata ia adalah ilmu Allah -Ta’alâ-. Dzikru, sebutan tentang orang yang berpendapat demikian: o Abu Kuraib dan Salami ibn Jinadah dari Ibnu Idris dari Mathraf dari Ja’far ibn Abi al Mughirah dari Sa’id ibn Jubair dari Ibnu Abbas, ia berkata: {كرسيه} علمه. “Kursi-Nya adalah ilmu-Nya.” o Ya’qub ibn Ibrahim dari Hasyîm dari Mathraf dari Ja’far ibn Abi al Mughirah dari Sa’id ibn Jubair dari Ibnu Abbas: {كرسيه} علمه. “Kursi-Nya adalah ilmu-Nya.” Tidakkah engkau memerhatikan firman-Nya: وَ لاَ يَؤُوْدُهُ حِفْظُهُمَا “dan Ia tidak merasa berat memelihara keduanya.”[8] Ketika kita menyakisikan Ibnu Jarir mengawali uraiannya dengan mengatakan“Ahli takwil berselisih tentang makna al Kursiy” justru kita baca Ibnu Taymiah mamastikan dengan tegas bahwa Salaf tidak berselisih barang sedkitipun tentang masalah ini!! Ketika kita mendapat Ibnu Taymiah memastikan dengan yakin bahwa, “aku telah membaca kitab-kitab besar maupun kecil dalam julmah lebih dari seratus tafsir, tetapi sampai detik ini aku tidak mendapatkan seorang pun dari sahabat Nabi yang menakwilkan satu pun dari ayat-ayat sifat atau hadis-hadsi sifat dengan selain makna dzahirnya yang difahami dan makruf”, justru kita menyaksikan Ibnu Jarir -Syeikhu as Salaf ash Shaleh- mengawali uraiannya dengan menyebut takwil sahabat Ibnu Abbas ra. yang membubarkan klaim palsu Ibnu Taymiah dan menjadikannya bak daun-daun kering di musim gugur yang ditiup anging kencang!!! Ibnu Taymiah memproklamirkan mazhab Hasyawiyah yang memalukan yang sempat dihimpung ath Thabari namun ia tolak … Ibnu Taymiah mempopulerkan mazhab Hasyawiyah yang mengatakan bahwa Kursiy Allah adalah tempat Allah meletakkan kedua kaki-Nya atau ia adalah singgasana yang Allah duduk di atasnya…. dan ia kerena beratnya beban yang mendudukinya maka ia bersuara seperti suara yang terdengar dari kendaraan/kereta, andong yang baru!! Setelah menukil beberapa tafsir selain tafsir Ibnu Abbas ra., ath Thabari menutupnya dengan mengatakan, “Adapun yang menunjukkan kebenaran takwil Ibnu Abbas bahwa Kursiy adalah ilmu Allah adalah firman-Nya: وَ لاَ يَؤُوْدُهُ حِفْظُهُمَا “dan Ia tidak merasa berat memelihara keduanya.” (hingga akhir uraiannya, Anda dapat merujuknya langsung dengan lengkap) Setelah itu, ath Thabari berpindah menafsirkan bagian akhir ayat yang juga merupakan ayat-ayat sifat: وَ هُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ. “Dan Ia Maha Tinggi nan Maha Agung.” Kaum Mujassimah mengartikan ayat di atas dengan ketinggian Allah secara fisik, yang mereka ungkapkan dengan istilah al ‘Uluw al Hissi/ al ‘Uluw ad Dzâti/ al ‘Uluw Haqiqatan, yaitu sisi atas, bukan ketinggian kedudukan seperti yang diyakini Ahlusunnah. Pendapat kaum Mujassimah inilah yang diyakini dan dibela serat diperjuangkan Ibnu Taymiah. Ath Thabari berkata: “Para peneliti berselisih pendapat tentang firman-Nya: وَ هُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ. “Dan Ia Maha Tinggi nan Maha Agung.” Sebagian mereka berkata, ‘Yang dimaksud dengannya adalah Allah Maha Tinggi dari ada yang menandingi dan menyerupai.’ Mereka menentang jika maksudnya adalah ketinggian tempat/sifik al ‘uluw al makâni. Mereka berkata, ‘Tidak boleh sebuah tempat kosong dari-Nya, dan tidaklah bermakna kita mensifati-Nya dengan ketinggian tempat, sebab mensifatinya demikian berati Dia berada di tempat tertentu dan tidak di tempat lain.”[9] Inilah total ucapan Salaf tentang ayat sifat teragung, sengaja saya bawakan agar dapat Anda saksikan langsung…. dan setelahnya Anda dapat menilianya sendiri apa nilai omongan dan klaim Ibnu Taymiah ketika ia berkata: “aku telah membaca kitab-kitab besar maupun kecil dalam julmah lebih dari seratus tafsir, tetapi sampai detik ini aku tidak mendapatkan seorang pun dari sahabat Nabi yang menakwilkan satu pun dari ayat-ayat sifat atau hadis-hadsi sifat dengan selain makna dzahirnya yang difahami dan makruf”,!!! Salahkah jika setelah itu ada yang terpaksa mengatakan , “Sepertinya Anda -wahai “Syeikhul Islam“- belum juga berniat mau berhenti berdusta atas nama Salaf?!” “Mengapa begitu sulit atasmu meninggalkan kebiasaan buruk berbohong atas nama pembesar umat?!” Kami sudah lama menanti dan menanti barang sekali saja engkau berkata jujur dan tidak menipu kami!” Dan ini, sekali lagi adalah bukti terkini yang saya hadirkan untuk para pecinta blog kami…. nantikan seri-seri kebohongan dan kepalsuan Ibnu Taymiah lainnya! [1] Ibnu Taymiah dan juga para pengikutnya yang sekarang diwakili oleh kelompok Sekte Wahhabi, menyebut diri mereka Ahlusunnah dan pewaris sejati kubu Salaf, sementara itu mazhab Asy’ariyah mereka ejek dengan menyebutnya sebagai Mu’aththilah yang tentunya mereka kelompokkan sebagai Ahli Bid’ah! [2] Al Milal wa an Nihal,1/84-85, Bab ketiga. [3] Ibid.95-97. [4] Tafsir al Kabir;Ibnu Taymiah,1/270. [5] Tafsir surah an Nur:178-179. [6] Mukadddimah fî Ushûl at Tafsir:51 dan at Tafsir al Kabir,2/255. [7] Al fatâwâ,6/322. [8] Tafsir Jâmi’ al Bayân; Ibnu Jarir ath Thabari,3/7. [9] Ibid.9.

Pantun

Patah gading serpih tanduk
Mari diletak di atas papan
Jika tahu ganja itu mabuk
Buat apakah ia dimakan

Anak rusa masuk ke taman
Puas sudah orang memburu
Kalau muda jadikan teman
Kalau tua jadikan guru

Berakit ke hulu dengan bergalah
Buluh pecah terbelahdua
Orang tua jangan dilangkah
Kelak biadap dituduhnya pula

Rusa betina berbelang kaki
Mati terkena jerat sembat
Orang yang muda kita sanjungi
Orang yang tua kita hormat

Sorong papan tarik papan
Buah keranji dalam perahu
Suruh makan awak makan
Suruh mengaji awak tak mahu

Adik ke kedai membeli halia
Emak memesan membeli laksa
Jadilah insan berhati mulia
Baik hati berbudi bahasa

Pantun

Parang tajam tidak berhulu
Buat menetak si pokok Ru
Bila belajar tekun selalu
Jangan ingkar nasihat guru

Hari malam gelap-gelita
Pasang lilin jalan ke taman
Sopan santun budaya kita
Jadi kebanggaan zaman berzaman

Pergi berburu sampai ke sempadan
Dapat Kancil badan berjalur
Biar carik baju di badan
Asalkan hati bersih dan jujur

Pulau Pandan jauh ke tengah
Gunung Daik bercabang tiga
Hancur badan dikandung tanah
Budi yang baik di kenang juga

Ramai orang membeli jamu
Di bawah pokok cuaca redup
Bersungguh-sungguh mencari ilmu
Ilmu dicari penyuluh hidup

Apa guna berkain batik
Kalau tidak dengan sucinya?
Apa guna beristeri cantik
Kalau tidak dengan budinya

Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian

Buah cempedak diluar pagar
Ambil galah tolong jolokkan
Saya budak baru belajar
Kalau salah tolong tunjukkan

Pisang emas dibawa belayar
Masak sebiji di atas peti
Hutang emas boleh dibayar
Hutang budi dibawa mati

Dalam semak ada duri
Ayam kuning buat sarang
Orang tamak selalu rugi
Macam anjing dengan bayang

Baik-baik mengirai padi
Takut mercik ke muka orang
Biar pandai menjaga diri
Takut nanti diejek orang

Ke hulu membuat pagar
Jangan terpotong batang durian
Cari guru tempat belajar
Supaya jangan sesal kemudian

Mari kita tanam halia
Ambil sedikit buat juadah
Usia muda jangan disia
Nanti tua sesal tak sudah

Padi muda jangan dilurut
Kalau dilurut pecah batang
Hati muda jangan diturut
Kalau diturut salah datang

Cuaca gelap semakin redup
Masakan boleh kembali terang
Budi bahasa amalan hidup
Barulah kekal dihormati orang

Orang Daik memacu kuda
Kuda dipacu deras sekali
Buat baik berpada-pada
Buat jahat jangan sekali

Dayung perahu tuju haluan
Membawa rokok bersama rempah
Kalau ilmu tidak diamalkan
Ibarat pokok tidak berbuah

Kalau kita menebang jati
Biar serpih tumbangnya jangan
Kalau kita mencari ganti
Biar lebih kurang jangan

Pinang muda dibelah dua
Anak burung mati diranggah
Dari muda sampai ke tua
Ajaran baik jangan diubah

Pantai Mersing kuala Johor
Pantainya bersih sangat mashyur
Pohonkan doa kita bersyukur
Negara kita aman dan makmur

Orang tua patut disegani
Boleh mendapat ajarnasihat
Ular yang bisa tidak begini
Bisa lagi lidah yang jahat

Ramai orang menggali perigi
Ambil buluh lalu diikat
Ilmu dicari tak akan rugi
Buat bekalan dunia akhirat

Tuan Haji memakai jubah
Singgah sembahyang di tepi lorong
Kalau sudah kehendak Allah
Rezeki segenggam jadi sekarung

Pantun Nasehat 3

Kayu bakar dibuat arang
Arang dibakar memanaskan diri
Jangan mudah menyalahkan orang
Cermin muka lihat sendiri

Selasih tumbuh di tepi telaga
Selasih dimakan si anak kuda
Kasih ibu membaa ke syurga
Kasih saudara masa berada

Masuk hutan pakai sepatu
Takut kena gigitan pacat
Kalau kita selalu bersatu
Apa kerja mudah dibuat

Bandar baru Seberang Perai
Gunung Daik bercabang tiga
Hancur badan tulang berkecai
Budi yang baik dikenang juga

Encik Dollah pergi ka Jambi
Pergi pagi kembali petang
Kalau Tuhan hendak membagi
Pintu berkancing rezeki datang

Orang haji dari Jeddah
Buah kurma berlambak-lambak
Pekerjaan guru bukanlah mudah
Bagai kerja menolak ombak

Pinang muda dibelah dua
Anak burung mati diranggah
Dari muda sampai ke tua
Ajaran baik jangan diubah

Terang bulan di malam sepi
Cahya memancar kepangkal kelapa
Hidup di dunia buatlah bakti
Kepada ibu dan juga bapa

Kapal kecil jangan dibelok
Kalau dibelok patah tiangnya
Budak kecil jangan di peluk
Kalau dipeluk patah tulangnya

Asal kapas menjadi benang
Dari benang dibuat kain
Barang yang lepas jangan dikenang
Sudah menjadi hak orang lain

Tengahari pergi mengail
Dapat seekor ikan tenggiri
Jangan amalkan sikap bakhil
Akan merosak diri sendiri

Kapal Anjiman disangka hantu
Nampak dari Kuala Acheh
Rosak iman kerana nafsu
Rosak hati kerana kasih

Tingkap papan kayu bersegi
Sampan sakat di Pulau Angsa
Indah tampan kerana budi
Tinggi darjat kerana bahasa

Anak Siti anak yang manja
Suka berjalan di atas titi
Orang yang malas hendak bekerja
Pasti  menyesal satu hari nanti

Bintang tujuh sinar berseri
Bulan purnama datang menerpa
Ajaran guru hendak ditaati
Mana yang dapat jangan dilupa

Pantun Nasehat 2

Tulis surat di dalam gelap
Ayatnya banyak yang tidak kena
Jagalah diri jangan tersilap
Jikalau silap awak yang bencana

Hendak belayar ke Teluk Betong
Sambil mencuba labuhkan pukat
Bulat air kerana pembetung
Bulat manusia kerana muafakat

Pakai baju warna biru
Pergi ke sekolah pukul satu
Murid sentiasa hormatkan guru
Kerana guru pembekal ilmu

Lagu bernama serampang laut
Ditiup angin dari Selatan
Layar dikembang kemudi dipaut
Kalau tak laju binasa badan

Padi segemal kepuk di hulu
Sirih di hilir merekap junjungan
Kepalang duduk menuntut ilmu
Pasir sebutir jadikan intan.

Budak-budak berkejar-kejar
Rasa gembira bermain di sana
Kalau kita rajin belajar
Tentu kita akan berjaya

Jangan pergi mandi di lombong
Emak dan kakak sedang mencuci
Jangan suka bercakap bohong
Semua kawan akan membenci

Buah cempedak bentuknya bujur
Sangat disukai oleh semua
Jika kita bersikap jujur
Hidup kita dipandang mulia

Jikalau tuan mengangkat peti
Tolong masukkan segala barang
Jikalau anak-anak bersatu hati
Kerja yang susah menjadi senang

Asam kandis mari dihiris
Manis sekali rasa isinya
Dilihat manis dipandang manis
Lebih manis hati budinya